Laman

Sabtu, 19 Februari 2011

UNTUK MENGUSIR DINGIN: WAJAR WARGA KERINCI GEMAR MINUM TUAK

BERITA KERINCI




Warga Kerinci mengaku makin resah dengan makin maraknya peredaran tuak di daerah itu, karena diperkirakan sedikitnya 1.800 liter tuak tiap hari masuk dan beredar di Kerinci.

"Warga kita kian resah, pasalnya setiap hari ada 1.800 liter tuak masuk ke Kerinci melalui Solok Selatan, Sumatera Barat, dan langsung beredar di masyarakat, kata Kabag Humas dan Protokol Pemkab Kerinci AMri Swarta di Kerinci, Kamis (17/2/2011).

Pernyataan tersebut disampaikan Camat Gunung Tujuh yang wilayahnya merupakan pintu gerbang Kerinci sebelah barat, saat rapat koordinasi Muspida di Sungaipenuh belum lama ini.

Minuman keras tradisional produksi masyarakat tersebut dibawa dengan jerigen berkapasitas empat liter dari luar Kerinci oleh sedikitnya tujuh yang diduga distributor ilegal, karena hingga kini di Kerinci tidak pernah ada tempat memproduksi tuak.

Saat ini meskipun belum diketahui adanya agen dan kedai tuak di Kerinci, diyakini banyak kedai yang menjual tuak tersebut dengan sembunyi-sembunyi sehingga mudah sampai ke konsumen yang umumnya generasi mudah.

Menyikapi kondisi tersebut Pemkab Kerinci melalui Bupati H Murasman minta unsur Muspida terutama kepolisian dan Kodim segera bertidak tegas dan cepat guna meredam serangan tuak tersebut.

"Muspida sudah sepakat akan segera melakukan razia intensif dan rutin guna menyapu peredaran tuak di Kerinci. Apalagi saat ini generasi muda sepertinya sudah mulai akrab dengan minuman yang mudah sekali disamarkan saat mereka berkumpul mengkonsumsi minuman tersebut," ujar Amri.

Minuman keras tradisional tuak berbeda dari minuman keras bermerek pada umumnya, karena minuman yang merupakan hasil permentasi ragi ini berwarna putih susu dan tidak memiliki kemasan baku seperti minimuman keras lain yang dikemas dalam botol yang identik.

Karena itu keberadaannyan di tengah masyarakat sulit dikenali, hanya bisa terdeteksi ketika sudah ada yang terkena efek mabuknya.


Dendang dari Kedai Tuak

”Saudara-saudara di perantauan. Ada permintaan menyanyikan lagu dangdut. Inilah dia ’Si Abang Ganteeeng’….” Begitu pembawa acara selesai menyampaikan pengantar, Rani Simbolon pun mulai menyanyikan lagu ”Si Abang Ganteng” dengan irama dangdut Batak.

Mula mulani Hutanda ho, Mallobok Tarottoki

Gabe Laos Targoda Au Tuho, Ala Hagantengonmi….

Berbalut rok terusan warna perak mengilap yang menempel ketat di tubuhnya nan sintal, Rani bernyanyi sambil berjoget diiringi alat musik hasapi, margondang, dan keyboard. Empat penari latar menemaninya berjoget ria.

Di kalangan masyarakat Batak yang tinggal di sekeliling Danau Toba, nama Rani cukup tenar. Ia dikenal bukan karena ia anak Charles Simbolon, personel grup musik Trio Ambisi yang ngetop di Jakarta, melainkan karena wajahnya sudah ”beredar” di mana-mana melalui video cakram padat yang tersebar hingga ke pelosok desa, seperti Ambarita, Hutabolon, atau Tuk Tuk di Pulau Samosir.

Di VCD berjudul Tor Tor Parmabuk Album Ubat Ni Stress, Rani tampil bersama grup musik Tor Tor Parmabuk. Selain Rani, penyanyi lain yang mengisi album ini adalah Titin Ginting, Simbolon Sister, Trio Silopak, dan lain-lain.

”Hari ini dia datang tidak ya...,” kata Marbun (50), seorang perempuan warga Kota Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Ia berharap Rani malam itu ikut tampil meramaikan panggung Festival Danau Toba 2010 di Kota Parapat, akhir bulan Oktober lalu.

Sementara Heni Sidabutar (18) jauh-jauh datang dari Medan ke Danau Toba untuk melihat penampilan Marsada Band.

Lekat budaya

Begitulah ciri khas masyarakat Batak. Mereka begitu lekat dengan budayanya. Budaya yang paling lekat dengan orang Batak adalah menyanyi.

Di Danau Toba kelekatan itu begitu terasa. Sepanjang perjalanan dari Medan-Parapat-Samosir, lagu-lagu Batak mengumandang di mana-mana. Mulai dari rumah makan, angkutan umum, warung kopi, kedai tuak, pelabuhan feri, hingga kafe-kafe di desa wisata Tuk Tuk, yang terdengar hanyalah lagu-lagu Batak dengan berbagai kemasan. Ada lagu pop Batak, dangdut Batak, reggae Batak hingga hip hop Batak. Bahkan, pengamen anak-anak di Danau Toba pun memilih mendendangkan lagu-lagu Batak daripada lagu-lagu pop yang sekarang sedang top.

Antropolog dari Universitas Negeri Medan, Bungaran Antonius Simanjuntak, mengatakan, orang Batak, terutama dari subetnis Batak Toba, gemar bernyanyi karena faktor geografis. Pada masa lalu, jarak satu kampung dengan kampung lainnya maupun antara satu rumah dan rumah lainnya cukup jauh.

Tidak jarang sanak saudara mereka tinggal jauh di kampung seberang. Hal itu, kata Bungaran, membuat warga kerap merasa kesepian. ”Di tengah kesepian itu, mereka menciptakan lagu-lagu untuk menghibur diri,” tutur Bungaran.

Lagu-lagu yang diciptakan lebih banyak bertema keluarga, lingkungan, dan rasa syukur kepada Tuhan. Dari lagu-lagu tadi, orang bisa tahu bahwa masyarakat Batak sangat menghormati keluarga, tanah kelahirannya, dan lingkungan alamnya serta Tuhan.

Pakter tuak

Budaya menyanyi dari rumah-rumah ini lalu berkembang di kedai-kedai tuak atau biasa disebut pakter tuak. Di pakter tuak inilah orang ingin melepaskan beban hidup dengan berkumpul lalu menyanyi bersama. Di situ mereka bisa menyanyi sepuasnya, entah itu menyanyikan lagu cinta, lagu tentang alam, atau lagu tentang perselingkuhan.

Di setiap pakter tuak selalu ada alat musik, minimal gitar. Untuk kedai tuak yang besar, alat musiknya lebih lengkap lagi, yaitu taganing, gondang, atau hasapi.

Di daerah Pelabuhan Ajibata, Kota Parapat, ada tujuh kedai tuak yang rata-rata buka sekitar pukul 19.00 hingga pukul 23.00. Di kota yang lebih besar lagi, semacam Siantar, sekitar 4 kilometer dari Parapat, kedai tuaknya lebih banyak lagi.

Betzon Sitinjak (35), yang bekerja sebagai sopir truk, hampir setiap malam berkumpul di kedai tuak di Ajibata. Ia biasa berkumpul di kedai tuak bersama teman-temannya yang bekerja di sekitar pelabuhan.

Begitu mulai banyak orang, mereka mengambil gitar yang disediakan pemilik warung, lalu bernyanyi. Betzon menyanyi dan spontan teman-temannya menimpalinya dengan suara dua atau suara tiga. Baling Manurung (40) yang suaranya mirip Eddy Silitonga kemudian ganti menyanyikan lagu-lagu Berlian Hutauruk.

Dari kedai tuak ini terbentuklah grup-grup penyanyi yang biasanya berformat trio. ”Untuk membentuk grup, mereka tidak perlu saling kenal. Begitu merasa suara masing-masing sudah cocok, biasanya mereka lalu sepakat untuk merantau bersama,” kata Martahan Sitohang (28), pemain musik etnik Batak. Kemampuannya memainkan musik tradisional Batak membawa Martahan menjelajah hingga ke Eropa dan China.

Bagi yang punya modal, grup-grup lokal ini kemudian membawa lagunya ke dapur rekaman. Stephen Chong, pemilik MMA Record di Medan, mengatakan, dalam satu bulan ia bisa menerima 3-4 orang yang ingin membuat album rekaman.

Lagu-lagu Batak pada kenyataannya bahkan tidak hanya diterima masyarakatnya sendiri, tetapi juga bisa diterima dunia. Grup musik Marsada Band dari Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara, misalnya, pada tahun 2003 masuk dapur rekaman di Inggris. Mereka diajak oleh tamu yang berkunjung di sebuah kafe di Danau Toba, tempat Marsada Band biasa menghibur tamu.


Tari: Kisah Para Penjual Tuak

Melki Jemri Edison Neolaka, koreografer muda asal Nusa Tenggara Timur, peraih Hibah Seni Kelola – Hivos 2010, kategori Pentas Keliling, meramu rasa tradisi dan modern dalam karya berjudul “Mumso Nok Tua”. Sebuah tarian yang menggambarkan kegiatan meramu dan menjual tuak di Nusa Tenggara Timur.

Melki memadukan riangnya dansa Nusa Tenggara Timur dengan tarian latin, Salsa yang lincah. Untuk mengimbangi gerakan yang enerjik, ia bereksperimen dengan menggunakan kain satin bermotif tenun asli Rote untuk para penari yang berjumlah delapan orang; empat putra dan empat putri. Haik, tempat menyimpan tuak diubah menjadi aksesoris kepala penari putri.

Pergelaran ini dapat Anda saksikan di : Nusa Tenggara Timur Hari / Tanggal : 29 September 2010 Pukul : 19.30 WITA Tempat : UPT Taman Budaya Daerah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi NTT, Kupang. Hari / Tanggal : 30 September 2010 Pukul : 16.00 WITA Tempat : Lapangan Pemda Dinas dan Pariwisata Kabupaten Timor Tengah Selatan, Soe.

Ketiga pertunjukan diatas tidak dipungut biaya.


Setiap bulan Ramadhan pedagang musiman air nira atau biasa dikenal sebagai "tuak manis" di Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat panen keuntungan.      Seorang pedagang tuak manis di Wadon, Kekait Kecamatan Gunung Sari, Lombok Barat, H. Jumak, Minggu (22/8/2010) mengatakan, setiap harinya mampu meraup omzet Rp 150-200 ribu.      "Kita mulai berjualan sekitar pukul 16:00 hingga menjelang berbuka, bahkan karena pembeli masih ramai kita seringkali berbuka di lokasi berjualan," katanya.      Menurutnya, tuak manis yang berukuran 1,5 liter dijual Rp 5.000/botol, sedangkan ukuran 500 mililiter dijual Rp 3.000/botol, sehingga dalam setengah hari kita mampu menjual 25-30 botol.      Sebab tuak manis yang merupakan hasil tetesan pohon enau alias pohon aren ini kerap kali menjadi menu berbuka puasa yang menjadi incaran warga.      Di luar Bulan Ramadan hasil penjualan tuak manis ini tidaklah seberapa, harganya pun 50 persen lebih murah, karenanya bulan puasa ini betul-betul dimanfaatkan.      Ia mengatakan, untuk menjaga pelanggannya agar tidak pindah ke penjual lain, dirinya tidak mencampurkan tuak manis yang dijajakannya ke pelanggan, misalnya dengan menambahkaan air kelapa atau lainnya dengan dalih agar mendapat keuntungan lebih.          "Jika sekali saja pelanggan meminum tuak yang sudah tercampur, pelanggan tidak akan datang lagi, apalagi pelanggan kita banyak yang datang dari Kota Mataram," katanya.      Tuak manis yang merupakan tumbuhan yang hidup di dataran tinggi ini banyak tumbuh di sepanjang jalan menuju Kekait dan Pusuk, uniknya tumbuhan ini berproduksi dari pucuk hingga ke pangkalnya.      "Dengan perasan air nira ini, mampu meningkatkan ekonomi warga, bahkan banyak masyarakat ada yang dapat menunaikan ibadah haji dari hasil usaha pohon nira," katanya.      Sebab semua bagian dari pohon nira ini dapat dimanfaatkan, selain air nira dapat dinikmati langsung menjadi minuman tuak manis, juga bisa diolah menjadi gula aren yang nilai ekonomisnya juga cukup tinggi.      "Selain itu, buahnya dapat diolah menjadi kolang kaling, daunnya menjadi pebungkus bulayak, serta lidi yang dihasilkan bisa menjadi sapu, sementara akar dan batangnya dapat menjadi kayu," katanya.


TEKNOLOGI
Proyek Biodiesel Diduga Menjadi Pabrik Tuak

Proyek prestisius Pemerintah Provinsi Riau untuk menyulap bahan baku minyak sawit mentah atau CPO menjadi biodiesel pada tahun 2005 berakhir tragis. Pabrik biodiesel itu sekarang terancam menjadi besi tua, sementara lahan pertanaman kelapa seluas 60 hektar di sekitarnya telah berubah fungsi menjadi bahan baku tuak.

Pengamatan Kompas di lokasi pabrik biodiesel yang diresmikan oleh Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman dan Gubernur Riau pada 19 Januari 2005, Jumat (17/9) di Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar (sekitar 25 kilometer dari Pekanbaru), pabrik itu tampak sudah lama tidak difungsikan. Di luar area pabrik dikelilingi semak setinggi sepaha orang dewasa, tetapi persis di area dalam pabrik, rumputnya tampak baru saja dipotong. Tidak tampak seorang pun yang berjaga di lokasi itu.

Sekitar 50 meter dari pintu gerbang yang sudah tidak berpintu lagi, Kompas berpapasan dengan Aritonang (25), seorang pedagang tuak dari Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan. Pria Batak berperawakan kurus itu mengendarai sepeda motor, membawa keranjang berisi dua jeriken isi masing-masing 40 liter tuak.

”Setiap hari aku mengambil tuak kemari, biasanya pagi-pagi. Harga satu jeriken Rp 80.000. Kami membelinya dari Pak Tupang di belakang. Cari saja, tadi dia masih ada di sana,” ujar Aritonang.

Tidak lama kemudian, kami kembali berpapasan dengan seorang pedagang tuak yang mengaku bernama Ucok asal Pasir Putih, Kecamatan Pandau, Kabupaten Kampar. Ucok membawa tiga jeriken besar dan beberapa jeriken kecil isi lima liter.

Ketika Kompas sampai di bagian belakang perkebunan kelapa, terdapat sebuah pondok kecil seluas 8 meter, tanpa dinding beratap rumbia. Di pondok itu terdapat satu drum besar ukuran 200 liter yang berisi tuak sekitar 75 persen. Di sekeliling pondok terdapat beberapa jeriken ukuran 40 liter yang berserakan. Satu jeriken di antaranya berisi penuh. Tampak bara api yang belum padam di pinggir pondok, tetapi orang yang bernama Simatupang tidak ada.

Berdasarkan sejarah berdirinya, pabrik biodisel Riau di Siak Hulu merupakan niat besar Pemprov Riau menjadi pelopor dalam bidang energi masa depan di Tanah Air. Untuk niat itu, Pemprov membangun pabrik senilai Rp 5 miliar yang akan mengubah bahan baku nabati berupa CPO, minyak kelapa, dan minyak jarak untuk disuling menjadi biodiesel.

Akan tetapi, niat yang cemerlang itu gagal dilaksanakan. Belum jelas faktor penyebabnya. Yang jelas, saat ini, tidak satu pun pohon kelapa di lahan seluas 60 hektar tersebut menghasilkan buah karena mayang dipotong untuk disadap airnya sebagai bahan baku tuak.

Kepala Biro Humas Pemprov Riau Riska Utama yang dihubungi terpisah mengakui ada penyalahgunaan fungsi di lahan proyek biodiesel Pemprov Riau. Pihaknya segera melakukan penyelidikan terhadap penyimpangan itu.


Ada Cerita di Kedai Tuak Martohap

Oleh Timbul Nadeak

Di Kedai Tuak Martohap selalu ada beberapa orang lelaki—biasanya 4 sampai 5 orang—yang bercakap-cakap sambil minum tuak. Selalu ada cerita yang mereka percakapkan. Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak. Karena mereka bercakap-cakap dengan suara tinggi, maka semua tamu di kedai tuak itu tahu apa yang sedang mereka tertawakan. Tapi ada pula cerita yang mereka percakapkan dengan suara rendah. Kalau bercakap-cakap seperti itu, mereka pasti menggeser gelas dan botol tuak masing-masing ke tengah meja agar dapat menyimak sambil melipat kedua tangan di atas meja.

Dua jam sebelum tengah malam, biasanya Pita mulai sibuk mengelap sisa-sisa makanan dan tuak yang tertumpah di atas meja. Membersihkan dan merapikan kursi-kursi merupakan isyarat bahwa dia sedang bersiap-siap untuk menutup kedai tuaknya. Satu atau dua orang tamu yang masih berada di kedainya harus bersiap-siap pula untuk pulang. Tapi pada malam itu, ada seorang lelaki beruban yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan beranjak dari kursinya.

Pita tersenyum ramah ketika mengamati sosok lelaki itu. Tak lama kemudian, senyumnya hilang seketika. Dia terkesima. Sekujur tubuhnya sempat bergetar ketika lelaki beruban itu membalas tatapannya.

Pita merasa pernah mengenali wajah lelaki itu. Bahkan pernah mengenali tatapannya. Dia ingin segera berlari ke kamarnya untuk membuka album masa mudanya. Dia ingin memastikan bahwa wajah lelaki beruban itu adalah wajah tua milik seorang pemuda yang pernah dikenalnya. Wajah yang sesekali masih mampu menggelorakan rindunya.

Pita tetap melanjutkan pekerjaannya dengan kepala tertunduk. Ada rasa cemas yang tiba-tiba menyergap dirinya sehingga dia segan melirik lelaki itu, tapi nalurinya memberitahukan bahwa mata lelaki itu sedang mengamati wajahnya, rambutnya, dan sekujur tubuhnya.

”Aku pernah mengenal seseorang yang mirip kau.”

Pita menoleh. Tanpa disadarinya, ternyata lelaki itu telah berdiri di dekatnya.

”Sekarang aku hanya bisa mengenangnya.”

Pita membisu, tetapi dadanya bergemuruh.

”Maaf, aku telah mengganggu pekerjaanmu. Agar kau tak terganggu, aku akan menunggu hingga kau menyelesaikan pekerjaanmu. Setelah itu, berilah aku kesempatan untuk bicara.”

Setelah semua meja dibersihkan dan kursi-kursi ditata kembali, Pita menguatkan hatinya untuk duduk di hadapan lelaki itu.

”Apa yang ingin kau bicarakan?”

”Tentang seorang perempuan di masa mudaku, dulu.”

”Apakah kau merasa aku pernah mengenalmu?”

Lelaki itu mengangguk, lalu bertanya, ”Apakah suamimu bernama Martohap?”

Pita membisu.

”Atau anakmu yang memiliki nama itu?”

Pita menggeleng.

Lelaki itu menarik napas panjang. Ada kelegaan terbias di wajahnya. Lalu dia berkata dengan santun, ”Aku tidak suka minum tuak. Aku mampir karena membaca papan nama di depan kedai tuakmu ini. Nama siapa yang kau gunakan?”

Pita menunduk. Walau telah berhasil memendam cintanya, dia tetap merasa malu untuk menjawab pertanyaan itu.

”Apakah itu nama seorang lelaki yang pernah kau cintai?”

”Apakah kau pernah mencintai seorang perempuan?”

Lelaki itu terdiam sejenak. Dahinya berkerut. Lalu dia berkata, ”Maaf karena aku sangat lancang bertanya. Mengapa kau namai Martohap? Bukankah nama Songgop lebih berarti untukmu?”

Sekujur tubuh Pita mulai menggigil.

”Apakah kau pulang untuk perempuan yang kau cintai itu?”

”Aku tidak pulang. Aku datang!” jawab lelaki itu. Matanya menatap tajam.

”Aku yakin bahwa kau mengenal perempuan yang kumaksud. Kira-kira dua puluh lima tahun yang lalu, perempuan itu diperistri oleh anak Kepala Kampung ini,” sambungnya.

Pita membisu kembali. Napasnya tersendat.

”Namaku Martohap.”

Pita bangkit dari kursinya. Ditinggalkannya lelaki itu.

Di dalam kamarnya yang terletak di belakang kedai tuaknya, dia tak mampu menahan air matanya walaupun tak tahu pasti apa sesungguhnya yang dia tangisi. Apakah dia menangis karena terharu akan pertemuan itu atau menangis karena menyesal telah memberikan hatinya kepada lelaki itu. Gara-gara lelaki itu, tak ada lagi hati yang tersisa untuk dia berikan kepada lelaki lain.

Tahun demi tahun telah dilaluinya dalam kesendirian. Dinikmatinya kesendirian itu sambil menunggu lelaki itu pulang untuk mengembalikan hatinya. Nama lelaki itu digunakannya menjadi nama kedai tuaknya. Setiap orang yang melewati kedai tuaknya dapat membaca nama itu dengan jelas. Dia memang ingin menyapa dan mengundang lelaki yang memiliki nama yang sama untuk singgah di kedai tuaknya.

Di dalam hatinya, Pita berkali-kali menyebut nama Tuhannya. ”Tuhan, akhirnya kau kirimkan lelaki itu untuk menemuiku. Terima kasih Tuhan, mendekati usia senja aku masih sempat melihat wajahnya.”

Dua puluh lima tahun yang lalu, Pita sering termenung menimbang-nimbang perasaannya. Rencana pernikahan itu membuatnya resah dan marah. Berulang-ulang kali pula dia bertanya dalam hati, apakah aku benar-benar tega menistakan kehormatan yang telah berada dalam genggaman orangtuaku?

Seminggu sebelum pesta pernikahannya dilaksanakan, terjadi demonstrasi besar-besaran yang menuntut agar sebuah pabrik bubur kertas ditutup. Masyarakat dari empat kampung di sekitar lokasi pabrik bubur kertas itu bergerak serentak menebangi pohon-pohon di hutan tanaman industri. Batang-batang pohon itu diseret untuk memalang jalan. Dahan-dahannya dibiarkan berserakan di tengah jalan. Pohon besar di pinggir jalan, yang batangnya berdiameter setengah meter, turut ditebang untuk memalang jalan. Bahkan batu gunung dilinggis beramai-ramai hingga menggelinding ke tengah jalan. Ribuan masyarakat berdiri di pinggir jalan sambil membawa spanduk-spanduk tuntutan mereka, ”Jangan biarkan bau busuk merusak kehidupan kami”. ”Stop menebar racun di Tanah Toba!”.

Truk-truk pengangkut kayu terpaksa berhenti. Terjadi antrean panjang lebih dari 10 jam. Penumpang-penumpang bus lintas Sumatera terpaksa turun untuk membantu aparat kepolisian dan TNI. Mereka bekerja sama menyingkirkan batang-batang pohon yang menghalangi jalan.

Dua hari setelah demonstrasi itu, orang-orang asing berseragam dan berbaju preman terlihat hilir-mudik ke luar-masuk kampung. Masyarakat saling berbisik. ”Kepala Kampung dituduh sebagai penggerak demo.”

”Beberapa anggota masyarakat sedang dicari.”

”Yang dicap sebagai tokoh harus segera bersembunyi!” Dan calon mertuanya sempat menghilang beberapa hari. Ada yang mengatakan sedang ditahan, tapi berita-berita di televisi mengatakan sedang diinterogasi. Beberapa hari kemudian, Kepala Kampung kembali terlihat sibuk mengadakan rapat dengan masyarakatnya.

Hari pernikahan itu tentu urung dilaksanakan, tapi tepat pada hari itu tersiar kabar pengangkatan kepala kampung yang baru. Masyarakat kembali berbisik-bisik.

”Kepala kampung yang baru itu langsung ditunjuk oleh pemerintah.” Pada saat yang sama, calon mertua Pita menyatakan tak akan mundur dari jabatannya. Sejak saat itu demonstrasi yang dilaksanakan terpecah dua. Ada kubu yang mendukung. Ada kubu yang menolak. Dan sejak saat itu pula, Songgop, pemuda yang akan menikahinya menghilang. Dia dicap sebagai salah seorang aktivis yang membantu bapaknya mempersiapkan demonstrasi besar-besaran itu.

Martohap juga menghilang. Masyarakat di kampungnya menganggap dia melarikan diri karena kalah memperebutkan Pita, si perempuan kampung yang cantik dan cerdas. Tapi Pita menganggap Martohap yang menjadi pemenang. Dia telah mencicipi manisnya bibir pemuda itu.

Bibir Martohap memang telah membuat kuncup bunga di hati Pita mekar bersamaan waktunya dengan sukaria pemuda dan pemudi sekampungnya. Pada malam itu, mereka sedang menghias sebuah pohon cemara menjadi pohon Natal. Beberapa pemuda-pemudi sibuk menyelipkan kabel lampu-lampu kecil di antara daun-daun di sekeliling pohon. Tapi Pita memilih untuk membantu Martohap menyangkutkan hiasan-hiasan salib dan serpihan-serpihan kapas. Ketika pekerjaan mereka selesai, semua lampu gereja dimatikan. Kegelapan menyelimuti mereka. Di balik rimbunnya pohon Natal, Martohap segera merengkuh dan mendekap tubuh Pita erat-erat. Sebelum seseorang mencolokkan kabel ke stop kontak di dekat altar gereja, pemuda itu telah selesai menciumnya. Ketika lampu-lampu pohon Natal itu menyala indah berkelap-kelip, Pita dan Martohap saling tatap penuh makna. Dan Songgop menatap curiga!

Dua tahun setelah demonstrasi besar-besaran itu, Songgop kembali ke kampungnya. Dia pulang bersama seorang bayi berumur beberapa bulan. Bayi itu berada dalam gendongan seorang perempuan yang telah dinikahinya di Tanah Karo.

Sebelum tengah hari Pita membuka kedai tuaknya. Tak lama kemudian dua orang lelaki masuk dan segera membuka papan catur yang selalu tersedia di atas sebuah meja. Tapi sebelum menyusun buah caturya, salah seorang menyapa.

”Tadi malam kulihat kau bercakap-cakap dengan seseorang. Siapa dia?”

Pita sempat tergagap sebelum menjawab, ”Dia pendatang yang sedang mencari seseorang.”

”Siapa yang dicarinya?”

”Katanya adiknya,” jawab Pita sekenanya.

”Ah, kok bisa dia kehilangan adik? Sudah berapa lama dia merantau?”

”Aku tak tahu!"

Lelaki itu terdiam sejenak. ”Aneh juga. Kau lama bercakap-cakap dengan dia, tetapi tak tahu berapa lama dia sudah merantau.” Dahinya berkerut. ”Sudah kau suruh bertanya ke Kepala Kampung?” sambungnya.

”Sudah. Kupikir, sekarang dia sedang menemui Kepala Kampung.”

Lelaki itu berpaling dan mulai melangkahkan buah caturnya.

Di dapur kedai tuaknya, Pita termenung. Dia menyesal telah berbohong, tapi kalau berkata jujur, dia mungkin akan lebih menyesal. Mereka akan bertanya, dan bertanya... hingga bisa merangkai sebuah cerita. Lalu dia akan selalu curiga bila gelas-gelas dan botol-botol tuak terkumpul di tengah meja. Akan semakin curiga bila mereka bercakap-cakap dengan suara rendah. Akhirnya terusik ketika mereka tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Dia akan ditertawai di kedai tuaknya sendiri. Kalau merasa sungkan, mungkin mereka akan pergi ke kedai tuak orang lain dan terbahak-bahak di sana!

Pita pernah menegur. Dia tahu, saat itu mereka sedang mempercakapkan seorang perempuan yang sudah berumur, tetapi belum pernah dinikahi. Walaupun bukan dirinya yang sedang mereka percakapkan, tetapi hatinya cemas. Sebelum mereka tertawa, dengan lantang dia menegur, ”Sudahlah! Jangan mempercakapkan cerita seperti itu. Apa kalian tak ingin menjaga perasaanku?!”

Tegurannya membuat cerita yang sedang mereka percakapkan dianggap telah selesai. Biasanya, cerita baru dianggap selesai beberapa menit sebelum kedai tuak itu tutup. Tapi kadang-kadang ada juga cerita yang bersambung ke malam berikutnya. Bila terjadi seperti itu, biasanya seseorang dari malam sebelumnya dituntut untuk mengulang apa yang telah dipercakapkan. Jadi selalu ada cerita yang dipercakapkan karena orang-orang yang bercakap-cakap pada malam berikutnya, belum tentu semua sama dengan orang-orang yang bercakap-cakap pada malam sebelumnya.

Setelah semua meja dibersihkan dan kursi-kursi ditata kembali, Pita kembali menguatkan hatinya untuk duduk di hadapan lelaki beruban itu.

”Mengapa kau datang lagi?”

”Untuk melihat siapa yang membantumu menutup kedai tuak ini."

”Aku sendiri yang melakukannya.”

”Mengapa suami atau anakmu tak ikut membantu?”

”Aku belum pernah menikah.”

Martohap terkejut. Matanya sempat berbinar. Dia baru tahu kalau pernikahan itu tak pernah dilaksanakan, padahal rencana pernikahan itu yang membuat dia mempertaruhkan nasibnya di perantauan dan selama dua puluh tahun membuatnya takut untuk pulang.

Walau membisu, Martohap tetap mengamati wajah yang dulu sangat dikaguminya. Dulu? Tidak! Tidak! Bantah hatinya seketika. Sekarang pun dia masih tetap mengaguminya. Dia memang sangat mengagumi perempuan yang tulus dan tegar. Apalagi bila perempuan itu telah membuktikan dirinya tulus menikmati kesendiriannya. Tegar mengikuti perjalanan hidupnya.

”Aku pun belum pernah menikah.”

Pita terbelalak. Untuk apa dia mengatakan itu? Tentu dia tidak sedang merayu, katanya dalam hati. Lalu dia tersenyum kecil. Dia tahu, Martohap memang tidak bisa merayu. Lelaki itu lebih suka berpikir dan bertindak.

”Apakah seseorang yang telah menjalani kesendirian selama puluhan tahun berani menjalani kebersamaan di bagian akhir masa hidupnya? Bila mengenang cerita cinta sudah terasa indah, mengapa perlu mempertaruhkan kebersamaan? Bila kebersamaan itu akhirnya ternyata menyakitkan, bukankah nikmatnya kesendirian akan menjadi sia-sia? Padahal kesendirian itu telah dinikmati hingga usia menjelang senja. Tak lama lagi kematian akan datang untuk memisahkan kebersamaan. Mungkin naif bila kusimpulkan, semakin tua menjalani kesendirian, semakin takut menghadapi kebersamaan.”

”Untuk apa kau katakan itu?”

”Karena aku ingin pulang.”

”Pulanglah!” kata Pita ketus. Hatinya meradang. Dengan sigap dia bangkit dari kursinya. Ditinggalkannya lelaki itu sebelum air matanya sempat menetes.

Martohap terkesima. Matanya nanar menatap atap kedai tuak yang tak berlangit-langit itu. Lalu dia merogoh saku bajunya dan meletakkan sebuah amplop di atas meja. Langkahnya gontai ketika meninggalkan kedai tuak yang telah sepi itu.

Seperti biasanya, dua jam sebelum tengah malam, Pita selalu sibuk mengelap sisa-sisa makanan dan tuak yang tertumpah di atas meja. Dia masih tetap sendirian membersihkan dan merapikan kursi-kursi kedai tuaknya. Setelah menutup kedai tuaknya, sesekali dia membuka amplop yang ditinggalkan Martohap. Lalu dibacanya surat pendek itu untuk kesekian kalinya, ”Pita, hingga sekarang aku tetap mencintaimu! Aku berbahagia karena tak ada orang yang berhak melarangku untuk berhenti mengenangmu!”

Pita mengangkat kepalanya. Ditatapnya kegelapan malam. Lalu bibirnya tersenyum. Ada segumpal kebahagiaan ketika dia membayangkan seorang lelaki beruban yang tak pernah berani melamarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar