Simak 10 mitos dan fakta yang berkaitan dengan sperma seperti dikutip dari Genius Beauty berikut.
1. Sperma bisa dijadikan zat kosmetik unik dengan efek peremajaan tubuh Sperma memang mengandung unsur berguna bagi tubuh bila berada di lingkungan yang sesuai. Namun, pada beberapa orang, sprema menimbulkan reaksi alergi.
2. Berapa lama pria tidak melakukan seks bisa dilihat dari warna sperma Beberapa hal dapat dideteksi dari warna. Kita bisa menentukan jumlah dan konsentrasi yang akan mempengaruhi warna sperma. Makin banyak dan padat bentuk sperma, menandakan jumlah sperma makin besar dan kemungkinan si pria sudah lama tidak bercinta.
3. Rasa sperma tergantung asupan makanan
Dalam beberapa hal benar yang bergantung pada asupan makanan manis atau pedas. Namun, sperma memiliki citarasa tersendiri yang dapat memblokir rasa lainnya.
4. Konsumsi alkohol mempengaruhi sperma Alkohol mempengaruhi sperma secara tidak langsung. Konsumsi alkohol berlebih secara teratur akan mengurangi potensi reproduksi pria.
5. Menahan diri tak melakukan hubungan seks dapat meningkatkan jumlah sperma Benar, namun jangan berlebihan. Pria harus mengeluarkan sperma setelah 7-10 hari atau kinerja sperma akan menurun. Hubungan intim sebanyak dua kali seminggu mendekati hari-hari ovulasi adalah waktu paling sempurna bila menginginkan kehamilan.
6. Kualitas sperma menurun seiring usia yang bertambah tua
Dari segi kualitas, sperma umumnya tidak berubah, namun dari sisi kemungkinan untuk membuahi sel telur semakin menurun.
7. Memakai pakaian ketat tidak sehat
Pakaian ketat akan mengurangi aliran darah ke testis sehingga membuat testis panas. Akibatnya jumlah spermatozoon (benih sperma) dilepaskan selama ejakulasi lebih rendah. Sehingga pria disarankan untuk memakai pakaian dalam yang longgar.
8. Proses produksi spermatozoon membutuhkan lingkungan dengan suhu 3-5 derajat di bawah suhu tubuh.
9. Tubuh manusia memproduksi 70-150 juta spermatozoon tiap hari
10. Kecepatan spermatozoon saat ejakulasi mencapai 18-45 km/jam.
ATURAN ANEH YANG MASIH GADIS DI LARANG PAKAI ''HP''
RADAR JAMBI: TONI.S
Sebuah desa di Uttar Pradesh, India, memberlakukan aturan yang bisa dibilang diskriminatif. Bagaimana tidak, di Desa Baliyan tersebut kini terdapat sebuah peraturan adat bahwa gadis yang belum menikah dilarang menggunakan ponsel.
"Semua orangtua diminta menjaga agar anak-anak perempuan yang belum kawin tidak menggunakan ponsel. Anak laki-laki masih boleh, tetapi harus dengan pengawasan orangtua," ujar Satish Tyagi, juru bicara Dewan Adat Desa Baliyan, seperti dilansir Calcutta Telegraph, Rabu (24/11/2010).
Aturan tersebut dibuat dengan alasan bahwa banyak gadis desa yang minggat dan kawin lari sejak ponsel masuk ke sana. Tak kurang ada 23 gadis yang melawan nasihat orangtuanya sejak mengenal ponsel. Dengan larangan itu, warga berharap hubungan gelap melalui ponsel bisa dihindari.
"Dewan adat meyakini bahwa pasangan-pasangan tersebut merencanakan kawin lari lewat komunikasi melalui ponselnya," ujar tetua adat Jatin Raghuvanshi. Padahal, salah satu alasan di balik maraknya kawin lari ini tak lepas dari penerapan kasta di kalangan masyarakat pedesaan.
Di India, kasta memang sudah dilarang secara hukum. Namun, dalam kenyataannya, penduduk, terutama di desa-desa, masih menerapkan hal itu. Perkawinan antarkasta dilarang sehingga pelaku sering kali mendapat hukuman sosial dan tak dianggap lagi oleh kastanya.
Sebuah desa di Uttar Pradesh, India, memberlakukan aturan yang bisa dibilang diskriminatif. Bagaimana tidak, di Desa Baliyan tersebut kini terdapat sebuah peraturan adat bahwa gadis yang belum menikah dilarang menggunakan ponsel.
"Semua orangtua diminta menjaga agar anak-anak perempuan yang belum kawin tidak menggunakan ponsel. Anak laki-laki masih boleh, tetapi harus dengan pengawasan orangtua," ujar Satish Tyagi, juru bicara Dewan Adat Desa Baliyan, seperti dilansir Calcutta Telegraph, Rabu (24/11/2010).
Aturan tersebut dibuat dengan alasan bahwa banyak gadis desa yang minggat dan kawin lari sejak ponsel masuk ke sana. Tak kurang ada 23 gadis yang melawan nasihat orangtuanya sejak mengenal ponsel. Dengan larangan itu, warga berharap hubungan gelap melalui ponsel bisa dihindari.
"Dewan adat meyakini bahwa pasangan-pasangan tersebut merencanakan kawin lari lewat komunikasi melalui ponselnya," ujar tetua adat Jatin Raghuvanshi. Padahal, salah satu alasan di balik maraknya kawin lari ini tak lepas dari penerapan kasta di kalangan masyarakat pedesaan.
Di India, kasta memang sudah dilarang secara hukum. Namun, dalam kenyataannya, penduduk, terutama di desa-desa, masih menerapkan hal itu. Perkawinan antarkasta dilarang sehingga pelaku sering kali mendapat hukuman sosial dan tak dianggap lagi oleh kastanya.
HANYA MEMILIKI HANDPHONE DI JEBLOS KE PENJARA ''SADIS''
RADAR JAMBI: TONI.S
Sebut saja Nani, pekerja rumah tangga Indonesia di Uni Emirat Arab, dijebloskan majikan ke penjara karena kedapatan memiliki handphone dan ada SMS dari seorang laki-laki Banglades.
Temuan penelitian Pusat Kajian Wanita dan Jender UI menunjukkan, memiliki handphone adalah larangan besar begitu masuk rumah majikan. Sekitar 80 persen TKW Indonesia mendekam di penjara UEA karena tuduhan kasus asusila. Setelah diselidiki, ternyata berupa hubungan dengan laki-laki, termasuk hubungan bermesraan melalui handphone (ponsel).
Terdapat jurang antara kultur Arab dan kultur Indonesia yang tidak dipahami banyak pihak terkait ”bisnis” migrasi. Secara budaya, pekerjaan domestik dianggap pekerjaan tambahan, kotor, berbahaya, ”undangan kerja dalam keluarga”, dan tidak dianggap layak masuk sebagai pekerjaan formal sehingga dianggap tidak perlu ada hukum khusus yang mengatur. Padahal, ketiadaan hukum ini adalah sumber utama berbagai persoalan.
Pemantauan dari representasi negara pengirim berhenti sampai pintu rumah majikan karena ketidakseimbangan dengan negara penerima. Selanjutnya, apa yang terjadi di dalam rumah adalah perwujudan relasi kuasa berdasarkan perbedaan kelas, ras, bangsa, dan jender.
Pembedaan
Ketiadaan hukum khusus dalam sektor domestik, baik di negara pengirim maupun penerima, menyebabkan pembedaan perlakuan yang sangat timpang antara pekerja formal dan informal. Salah satunya urusan TKW ditempatkan di kantor imigrasi, di bawah kementerian dalam negeri, bukan kementerian ketenagakerjaan.
Di rumah aman KBRI Abu Dhabi setiap hari selalu terdapat 60-70 orang TKW yang lari dari rumah majikan karena berbagai sebab dan sekitar 100 orang di Konjen RI Dubai. Kasus lari dari majikan adalah kasus terbesar, yang oleh negara penerima dianggap merugikan.
Pemerintah mengatasi persoalan ini dengan mensyaratkan kontrak yang harus ditandatangani TKW di depan kantor imigrasi UEA. Artinya, ada multikontrak yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Pertama, kontrak di Tanah Air seperti dipersyarakatan UU Nomor 39/2004. Kedua, kontrak antara majikan dan TKW di depan pejabat imigrasi (dalam praktiknya dapat ditandatangani di mana saja, bahkan di jalan). Ketiga, kontrak antara majikan dan agensi di UEA yang sama sekali tidak melibatkan TKW, di UEA ditulis dalam bahasa Inggris dan Arab.
Di UEA keberadaan TKW Indonesia sangat diinginkan karena sifat patuh, loyal, pekerja keras, dan beragama sama. Namun, sekaligus mereka dilekati stereotip tidak menguntungkan sebagai ”mudah berpacaran”, ”imoral”, dan senang ”mejik”, yang semua menunjukkan jurang budaya.
Relasi ras, kelas, jender
Fenomena keberadaan TKW di UEA dapat dijelaskan dari kultur Arab dan klasifikasi yang dibangun berdasarkan identitas. Secara jelas kultur mereka membedakan ”orang Arab” dan ”bukan Arab” dalam kedudukan tidak setara. Kultur mereka juga menempatkan perempuan (istri, anak, apalagi ”pembantu rumah tangga”) sebagai ”milik” laki-laki.
Mengacu pada persoalan identitas, secara sosial-budaya TKW dilihat sebagai ”liyan” karena perbedaan ras, kelas, dan seksualitasnya sebagai perempuan. Mereka juga dilihat sebagai warga dari bangsa ”miskin”. Di rumah aman di UAE, kekerasan tidak hanya fisik, tetapi juga verbal dengan penyebutan ”bangsa asal” yang merendahkan. Pelaku kekerasan adalah juga (staf) agensi, yang di UAE terdiri atas berbagai bangsa dan kalangan (termasuk ningrat).
Relasi kelas ditunjukkan dengan adanya kekerasan seksual, dilakukan majikan laki-laki dan perempuan. Pembedaan terhadap perempuan Arab dan bukan Arab secara umum kelihatan dari keharusan TKW Indonesia menyerahkan biodata lengkap, termasuk foto wajah, badan, tanpa dan dengan penutup kepala. Padahal, perempuan berfoto tidak diperkenankan bagi perempuan Arab. Biodata dengan foto inilah yang menentukan apakah seorang TKW dipilih atau tidak oleh calon majikan di kantor agensi.
Ekonomi global
Jutaan rumah tangga telah menjadi keluarga multibangsa dengan kehadiran para TKW. Mereka menyumbang remitansi ke negara asal dan ekonomi global. Peran mereka dalam rumah tangga memungkinkan produksi barang dan jasa dalam perputaran ekonomi global terus berjalan. Mereka juga memperkenalkan budaya kuliner Indonesia ke rumah tangga Timur Tengah, yang potensial menjadi industri masa depan. Keberadaan mereka menggiatkan bisnis perbankan, pengiriman barang dan uang, penerbangan, serta firma hukum.
Remitansi sosial juga dihasilkan. Setelah mereka pulang, ada yang memanfaatkan akumulasi modal untuk berwirausaha atau keterampilan berbahasa asing dan pengetahuan umum yang mengantarkan beberapa di antaranya menjadi kepala desa.
Memahami keberadaan fenomena migrasi dari berbagai sisi sepertinya menunjukkan upaya penghentian pengiriman bukan solusi terbaik. Apalagi, membekali mereka dengan ponsel.
Yang dibutuhkan penguatan perlindungan hukum berupa perjanjian bilateral dengan negara penerima. Tak kalah pentingnya, akses keadilan berupa pengetahuan hukum (yang melindungi dirinya), jaminan terhadap identitas hukum (memegang paspor dan kontrak), serta mekanisme bantuan hukum.
Oleh Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia.
Sebut saja Nani, pekerja rumah tangga Indonesia di Uni Emirat Arab, dijebloskan majikan ke penjara karena kedapatan memiliki handphone dan ada SMS dari seorang laki-laki Banglades.
Temuan penelitian Pusat Kajian Wanita dan Jender UI menunjukkan, memiliki handphone adalah larangan besar begitu masuk rumah majikan. Sekitar 80 persen TKW Indonesia mendekam di penjara UEA karena tuduhan kasus asusila. Setelah diselidiki, ternyata berupa hubungan dengan laki-laki, termasuk hubungan bermesraan melalui handphone (ponsel).
Terdapat jurang antara kultur Arab dan kultur Indonesia yang tidak dipahami banyak pihak terkait ”bisnis” migrasi. Secara budaya, pekerjaan domestik dianggap pekerjaan tambahan, kotor, berbahaya, ”undangan kerja dalam keluarga”, dan tidak dianggap layak masuk sebagai pekerjaan formal sehingga dianggap tidak perlu ada hukum khusus yang mengatur. Padahal, ketiadaan hukum ini adalah sumber utama berbagai persoalan.
Pemantauan dari representasi negara pengirim berhenti sampai pintu rumah majikan karena ketidakseimbangan dengan negara penerima. Selanjutnya, apa yang terjadi di dalam rumah adalah perwujudan relasi kuasa berdasarkan perbedaan kelas, ras, bangsa, dan jender.
Pembedaan
Ketiadaan hukum khusus dalam sektor domestik, baik di negara pengirim maupun penerima, menyebabkan pembedaan perlakuan yang sangat timpang antara pekerja formal dan informal. Salah satunya urusan TKW ditempatkan di kantor imigrasi, di bawah kementerian dalam negeri, bukan kementerian ketenagakerjaan.
Di rumah aman KBRI Abu Dhabi setiap hari selalu terdapat 60-70 orang TKW yang lari dari rumah majikan karena berbagai sebab dan sekitar 100 orang di Konjen RI Dubai. Kasus lari dari majikan adalah kasus terbesar, yang oleh negara penerima dianggap merugikan.
Pemerintah mengatasi persoalan ini dengan mensyaratkan kontrak yang harus ditandatangani TKW di depan kantor imigrasi UEA. Artinya, ada multikontrak yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Pertama, kontrak di Tanah Air seperti dipersyarakatan UU Nomor 39/2004. Kedua, kontrak antara majikan dan TKW di depan pejabat imigrasi (dalam praktiknya dapat ditandatangani di mana saja, bahkan di jalan). Ketiga, kontrak antara majikan dan agensi di UEA yang sama sekali tidak melibatkan TKW, di UEA ditulis dalam bahasa Inggris dan Arab.
Di UEA keberadaan TKW Indonesia sangat diinginkan karena sifat patuh, loyal, pekerja keras, dan beragama sama. Namun, sekaligus mereka dilekati stereotip tidak menguntungkan sebagai ”mudah berpacaran”, ”imoral”, dan senang ”mejik”, yang semua menunjukkan jurang budaya.
Relasi ras, kelas, jender
Fenomena keberadaan TKW di UEA dapat dijelaskan dari kultur Arab dan klasifikasi yang dibangun berdasarkan identitas. Secara jelas kultur mereka membedakan ”orang Arab” dan ”bukan Arab” dalam kedudukan tidak setara. Kultur mereka juga menempatkan perempuan (istri, anak, apalagi ”pembantu rumah tangga”) sebagai ”milik” laki-laki.
Mengacu pada persoalan identitas, secara sosial-budaya TKW dilihat sebagai ”liyan” karena perbedaan ras, kelas, dan seksualitasnya sebagai perempuan. Mereka juga dilihat sebagai warga dari bangsa ”miskin”. Di rumah aman di UAE, kekerasan tidak hanya fisik, tetapi juga verbal dengan penyebutan ”bangsa asal” yang merendahkan. Pelaku kekerasan adalah juga (staf) agensi, yang di UAE terdiri atas berbagai bangsa dan kalangan (termasuk ningrat).
Relasi kelas ditunjukkan dengan adanya kekerasan seksual, dilakukan majikan laki-laki dan perempuan. Pembedaan terhadap perempuan Arab dan bukan Arab secara umum kelihatan dari keharusan TKW Indonesia menyerahkan biodata lengkap, termasuk foto wajah, badan, tanpa dan dengan penutup kepala. Padahal, perempuan berfoto tidak diperkenankan bagi perempuan Arab. Biodata dengan foto inilah yang menentukan apakah seorang TKW dipilih atau tidak oleh calon majikan di kantor agensi.
Ekonomi global
Jutaan rumah tangga telah menjadi keluarga multibangsa dengan kehadiran para TKW. Mereka menyumbang remitansi ke negara asal dan ekonomi global. Peran mereka dalam rumah tangga memungkinkan produksi barang dan jasa dalam perputaran ekonomi global terus berjalan. Mereka juga memperkenalkan budaya kuliner Indonesia ke rumah tangga Timur Tengah, yang potensial menjadi industri masa depan. Keberadaan mereka menggiatkan bisnis perbankan, pengiriman barang dan uang, penerbangan, serta firma hukum.
Remitansi sosial juga dihasilkan. Setelah mereka pulang, ada yang memanfaatkan akumulasi modal untuk berwirausaha atau keterampilan berbahasa asing dan pengetahuan umum yang mengantarkan beberapa di antaranya menjadi kepala desa.
Memahami keberadaan fenomena migrasi dari berbagai sisi sepertinya menunjukkan upaya penghentian pengiriman bukan solusi terbaik. Apalagi, membekali mereka dengan ponsel.
Yang dibutuhkan penguatan perlindungan hukum berupa perjanjian bilateral dengan negara penerima. Tak kalah pentingnya, akses keadilan berupa pengetahuan hukum (yang melindungi dirinya), jaminan terhadap identitas hukum (memegang paspor dan kontrak), serta mekanisme bantuan hukum.
Oleh Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia.
Inilah Penantang Google dari Indonesia
RADAR JAMBI: TONI.S
Siapa yang tak mengakui Google sebagai penyedia search engine paling populer di dunia. Namun, jangan salah, ada perusahaan Indonesia yang berani menantang Google. SITTI namanya.
"Hari ini kami memberanikan diri menantang Google Inc," kata Andy Sjarif, Group CEO SITTI, saat acara "Buka Pintu", peresmian kantor baru di Grha Tirtadi, Jalan Senopati 71, Jakarta, Rabu (24/11/2010). Ia mengatakan, bukan layanan search engine yang dilawan, tetapi platform iklan kontekstual seperti AdSense dan AdWord.
Menurutnya, saol urusan search engine, Google memang jagonya. Tidak ada yang meragukan. Bahkan orang-orang di SITTI pun mengagumi kehebatan Google. Kata dia, Google mendapat keuntungan bukan karena search engine, melainkan karena pendapatan dari iklan berjaringan yang bisa menyajikan iklan sesuai konteks halaman web atau hasil pencarian yang dikunjungi pengguna internet.
"Contextual advertising adalah yang dilawan SITTI dari Google," ujar Andy Sjarif. Namun, tentu tidak semua yang diincar SITTI karena hanya pengguna web atau blog berbahasa Indonesia yang jadi sasaran saat ini. Ia percaya diri, mesin buatan SITTI dapat bersaing dengan Google, terutama untuk halaman web dan blog berbahasa Indonesia.
Untuk menguji kemampuan mesinnya, SITTI bekerja sama dengan situs web lokal selama lebih dari sebulan, mulai dari 1 Oktober hingga 5 November 2010. Dalam rentang waktu tersebut, SITTI berhasil mengindeks 600 juta halaman situs berbahasa Indonesia dan menampilkan 3300 iklan dari 529 merek.
Tidak hanya itu, SITTI pun memasang iklan yang sama ke layanan Google AdWord dengan periode yang sama dan keyword yang sama. Hal tersebut untuk mencari pembanding dan mengukur seberapa efektif mesin SITTI menyajikan iklan secara kontekstual sesuai halaman web yang dikunjungi.
Hasilnya, SITTI mengklaim lebih efektif. Dari pengukuran impresi, SITTI mendapat skor 88,5 persen, sedangkan Google 11,5 persen. Dari jumlah klik, SITTI mendapatkan 51 persen, sedangkan Google 49 persen. Click through ratio (CTR) SITTI 64,06 persen, Google 20,87 persen, dan sisanya sama. Inilah yang membuat SITTI makin percaya diri bersaing dengan Google.
"Saya berharap dalam 2-3 tahun lagi ada pertarungan platform iklan berjaringan," kata Andy Sjarif. Karena telah belajar dari jutaan halaman web, SITTI kini pun mengerti konteks kalimat, bahkan bahasa alay juga mengerti.
Ia pun berharap Google makin serius masuk ke pasar Indonesia dan menyumbang perekonomian nasional. Menurutnya, Google seharusnya membuka kantor perwakilan di Indonesia, membayar pajak untuk pendapatannya dari pasar Indonesia, dan memberikan edukasi kepada usaha kecil dan menengah agar mendapat manfaat dari internet.
Meski demikian, SITTI mengakui jauh lebih kecil ketimbang Google. Saat ini perusahaan tersebut baru mempekerjakan 25 orang dan menggunakan enam buah server. Bandingkan dengan Google yang telah mengindeks sekitar 1 triliun halaman web dalam 129 bahasa. Namun, Andy Sjarif yakin SITTI bisa bersaing karena dukungan dari komunitas internet Indonesia.
"Hari ini bukan SITTI yang nantang Google, tapi Indonesia nantang Google karena banyak publisher percaya ide kami, banyak pengiklan percaya dengan kami," pungkasnya.
Siapa yang tak mengakui Google sebagai penyedia search engine paling populer di dunia. Namun, jangan salah, ada perusahaan Indonesia yang berani menantang Google. SITTI namanya.
"Hari ini kami memberanikan diri menantang Google Inc," kata Andy Sjarif, Group CEO SITTI, saat acara "Buka Pintu", peresmian kantor baru di Grha Tirtadi, Jalan Senopati 71, Jakarta, Rabu (24/11/2010). Ia mengatakan, bukan layanan search engine yang dilawan, tetapi platform iklan kontekstual seperti AdSense dan AdWord.
Menurutnya, saol urusan search engine, Google memang jagonya. Tidak ada yang meragukan. Bahkan orang-orang di SITTI pun mengagumi kehebatan Google. Kata dia, Google mendapat keuntungan bukan karena search engine, melainkan karena pendapatan dari iklan berjaringan yang bisa menyajikan iklan sesuai konteks halaman web atau hasil pencarian yang dikunjungi pengguna internet.
"Contextual advertising adalah yang dilawan SITTI dari Google," ujar Andy Sjarif. Namun, tentu tidak semua yang diincar SITTI karena hanya pengguna web atau blog berbahasa Indonesia yang jadi sasaran saat ini. Ia percaya diri, mesin buatan SITTI dapat bersaing dengan Google, terutama untuk halaman web dan blog berbahasa Indonesia.
Untuk menguji kemampuan mesinnya, SITTI bekerja sama dengan situs web lokal selama lebih dari sebulan, mulai dari 1 Oktober hingga 5 November 2010. Dalam rentang waktu tersebut, SITTI berhasil mengindeks 600 juta halaman situs berbahasa Indonesia dan menampilkan 3300 iklan dari 529 merek.
Tidak hanya itu, SITTI pun memasang iklan yang sama ke layanan Google AdWord dengan periode yang sama dan keyword yang sama. Hal tersebut untuk mencari pembanding dan mengukur seberapa efektif mesin SITTI menyajikan iklan secara kontekstual sesuai halaman web yang dikunjungi.
Hasilnya, SITTI mengklaim lebih efektif. Dari pengukuran impresi, SITTI mendapat skor 88,5 persen, sedangkan Google 11,5 persen. Dari jumlah klik, SITTI mendapatkan 51 persen, sedangkan Google 49 persen. Click through ratio (CTR) SITTI 64,06 persen, Google 20,87 persen, dan sisanya sama. Inilah yang membuat SITTI makin percaya diri bersaing dengan Google.
"Saya berharap dalam 2-3 tahun lagi ada pertarungan platform iklan berjaringan," kata Andy Sjarif. Karena telah belajar dari jutaan halaman web, SITTI kini pun mengerti konteks kalimat, bahkan bahasa alay juga mengerti.
Ia pun berharap Google makin serius masuk ke pasar Indonesia dan menyumbang perekonomian nasional. Menurutnya, Google seharusnya membuka kantor perwakilan di Indonesia, membayar pajak untuk pendapatannya dari pasar Indonesia, dan memberikan edukasi kepada usaha kecil dan menengah agar mendapat manfaat dari internet.
Meski demikian, SITTI mengakui jauh lebih kecil ketimbang Google. Saat ini perusahaan tersebut baru mempekerjakan 25 orang dan menggunakan enam buah server. Bandingkan dengan Google yang telah mengindeks sekitar 1 triliun halaman web dalam 129 bahasa. Namun, Andy Sjarif yakin SITTI bisa bersaing karena dukungan dari komunitas internet Indonesia.
"Hari ini bukan SITTI yang nantang Google, tapi Indonesia nantang Google karena banyak publisher percaya ide kami, banyak pengiklan percaya dengan kami," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar