Laman

Minggu, 23 Mei 2010

ATRAKSI POLITIK DALAM PILKADA

Atraksi etika politik pilkada PEMILIHAN uumum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat.Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam ranah pemilu, sehingga secara resmi bernama "pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah ". Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, menyebutkan bahwa peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini kurang mengakomodasi calon independent/perseorangan maka diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada dapat berasal dari pasangan calon perseorangan, didukung oleh sejumlah orang. Idealisme mulia dalam berbagai undang-undang tersebut, ternyata masih memiliki celah yang diterobos elit politik dengan atraksi politik mengatas namakan demokratis. Pilkada merupakan penjelmaan penerapan azas demokrasi di negara kita, pilkada merupakan implementasi demokrasi partisipatoris, karena itu maka nilai-nuilai demokrasi menjadi parameter keberhasilan pelaksanaan proses pilkada. Nilai-nilai tersebut diwujudkan melalui azasazas pilkada yang umumnya terdiri dari langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sebagai implikasi proses pelaksanaan tahap-tahapan kegiatan di atas haruslah menegakkan dan menjunjung tinggi nilainilai objektivitas, keterbukaan, keadilan, dan kejujuran. Peranan penting selama proses pilkada itu terletak pada partai politik dan calon kepala daerah yang akan bertarung dalam pilkada tersebut.Kedua aktor inilah yang memegang peranan, apa dan bagaimana demokrasi itu berjalan dan dijalankan, dan tentang hal ini adalah sangat tergantung dari permainan dan etika politik yang ada dan diperankan oleh masing-masing pemain politik itu. Beberapa waktu lalu hangat diperbincangkan oleh birokrat dan elit partai politik serta stakeholder terkait pemilihan kepala daerah adalah kemungkinan tertundanya/ mundurnya pelaksanaan pilkada karena keterbatasan anggaran. Hal ini dimaklumi karena kemampuan anggaran daerah memang sangat terbatas, apalagi kalau sampai terjadi pilkada harus dua atau bahkan tiga kali putaran. Guna mendukung terselenggaranya hajatan pilkada, pemerintah kabupaten/kota bahkan provinsi harus melakukan saving anggaran melalui APBD. Namun setelah masalah anggaran pilkada kabupaten/ kota sudah tidak menjadi momok justru atraksi politik dari elit partai politik yang dipertontonkan kepada masyarakat. Pilkada kota Pekalongan gagal digelar pada 7 April 2010, karena hanya satu calon kepala daerah yang mendaftar. Akibatnya pelaksanaan pilkada harus mundur empat sampai enam bulan untuk penjadwalan ulang dan pentahapan pilkada. Mundurnya jadwal pilkada tersebut sebetulnya sudah dirasakan jauh hari oleh berbagai kalangan, politisi maupun pengamat setempat. Kegagalan pemilihan Walikota Pekalongan ditengarai merupakan skenario partai poltik setempat. Partai politik merasa tidak akan menang jika harus melawan incumbent pasangan HM Basyir Achmad dan Abu Almafachir. Ini terbukti ketika PAN sebagai satu-satunya partai yang mempunyai peluang untuk mengajukan calon tidak mengembalikan formulir pendaftaran apalagi partai gabungan sama sekali tidak berminat dalam pilwakot tersebut.(Wawasan, 16/2). Pimpinan parpol berkilah menunggu waktu yang tepat mengajukan calon setelah masa jabatan incumbent habis, sebab jika sekarang dipaksakan melawan pasangan incumbent peluangnya sangat kecil, karenanya pimpinan partai politik menunda menyerahkan calon ke KPUD Pekalongan sampai dengan batas akhir pengembalian formulir pendaftaran calon pilkada tanggal 13 Pebruari 2010. Menurut pengurus DPD PAN Kota Pekalongan, Aris kurniawan menyatakan demi strategi memenangkan Pilkada, pihaknya tidak mengembalikan berkas pendaftaran ke KPU hingga batas waktu yang ditentukan, otomatis pilkada hanya diikuti satu pasangan dan gagal digelar (Seputar Indonesia, 16/2). Apa pun alasannya, kasus pilkada Kota Pekalongan memberikan pembelajaran bahwa ternyata kepentingan kelompok atau golongan partai politik masih di atas kepentingan masyarakat luas. Jika sebagian besar atau semua elit partai politik bersikap sama dengan elit partai di Kota Pekalongan maka dapat dibayangkan besarnya kerugian yang harus dipikul masyarakat sebagai akibat dari rendahnya etika politik para elit partai politik. Di samping memalukan karena menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh kemenangan, jelas elit partai Kota Pekalongan menjadi tidak amanah dan mengecewakan rakyat. Pertanyaannya, apakah dengan mundurnya pilkada setelah berakhirnya masa jabatan incumbent calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik akan bisa memenangkan kursi kepala daerah? Bukan masalah waktu sebelum atau setelah berakhirnya masa jabatan incumbent untuk bertarung di dalam pilkada, tetapi lebih pada kesiapan partai politik bertarung dalam pilkada termasuk kader partai yang akan dipertarungkan. Layak untuk disimak pernyataan politik dari Sebastian Salang, Koordinator Formappi, agar parpol bisa bertahan dan mengena dihati masyarakat, ada dua syarat yang harus dibenahi. Pertama, parpol harus punya sistem kader dan perekrutan yang baik. Sehingga calon yang diusung dalam pilkada atau legislatif, misalnya, adalah orang yang benar-benar kompeten dalam bidangnya. Kedua, parpol harus mampu menampung aspirasi masyarakat, dan bukan menafsirkan sendiri keinginan masyarakat. Yang saat ini terjadi, elit parpol memanipulasi kepentingan masyarakat untuk kemudian mendahulukan kepentingan kelompok atau golongannya. Jika tak ingin ditinggalkan masyarakat, partai politik (parpol) harus segera berbenah diri dalam memperbaiki kinerja, dengan kembali menghimpun aspirasi masyarakat dan menolak penafsiran sembrono terhadap keinginan masyarakat. Di sinilah dituntut adanya kearifan dan etika politik dari elit politik, karena dengan etika politik akan diketahui korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual, tetapi terkait dengan tindakan kolektif, untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan kekerasan. Parpol tidak hanya berfungsi sebagai rekrutmen politik yang berorentasi pada kekuasaan dan politisi harus memiliki motivasi yang kuat untuk membangun partai, jangan hanya melihat partai sebagai sarana mencari jabatan politik. Tujuan meraih kekuasaan yang ditunjukkan politisi hanya merupakan tujuan jangka pendek dan sesaat. Dalam rangka demokrasi dibutuhkan parpol yang kuat dan sehat, dibutuhkan kader-kader yang memiliki komitmen dan memiliki keterpanggilan yang tinggi untuk membangun partai. Jangan hanya menjadikan partai semata-mata sebagai sarana untuk meraih jabatan politik.Kalau fungsi intermediasi parpol tidak bisa dilakukan, bukan tidak mungkin rakyat akan mencari solusi lain. Kalau tidak, pasti rakyat akan menilai parpol itu tidak memperlihatkan keberpihakan kepada rakyat.Lebih bermartabat bagi elit parpol dan calon kepala daerah menerima kekalahan dengan keikhlasan pengorbanan material dan non material sebagai cost politik daripada memperoleh predikat parpol tidak beretika politik yang mengotori demokrasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar