Laman

Kamis, 24 Juni 2010

PIDATO KE 3 KWIK KIAN GIE DI CGI 2003

i 09:43:00 0 komentar PIDATO CGI 3 KWIK KIAN GIE Pidato CGI 3 (dalam bahasa Indonesia) Senin, 21 Juni 10 IMPROVING GOVERNANCE Consultative Group for Indonesia Bali, 21 January 2003 Kwik Kian Gie (Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia) Saya mengucapkan selamat datang di Bali dan saya harap anda berkesempatan dapat menikmati keindahan pulau Dewata. Saya bergembira bahwa hanya 3 bulan dan 10 hari setelah meledaknya bom di Bali, hari ini anda dapat berkumpul dalam ruangan ini tanpa rasa takut (paling tidak itulah yang saya harapkan). Dengan sedih hati saya mengingat kembali bahwa banyak dari pemerintah anda melarang warga negara anda berkunjung ke Indonesia. Sekarang saya bertanya-tanya pada diri sendiri apakah APBN 2003 yang atas desakan IMF diubah mendadak dalam suasana panik sekarang tidak perlu diubah lagi, karena hunian hotel-hotel sudah mulai pulih dengan sangat lumayan. Berbeda dengan sidang-sidang CGI sebelumnya, kali ini topik yang diberikan kepada saya adalah Improving Governance (IR). Topik ini sudah menjadi renungan saya puluhan tahun sebelum Presiden Soeharto lengser. Dalam tahun 2000 ketika saya menjabat Menko EKUIN dalam kabinet Abdurrachman Wahid masalah ini menjadi perhatian utama. Tetapi tidak ada perwujudannya, karena faktor-faktor yang akan saya uraikan lebih lanjut. Maka saya sangat bergembira hari ini memperoleh kesempatan mengemukakannya dalam forum yang telah lama merupakan pemberi utang kepada Indonesia. Buat saya Improving Governance tidak berdiri sendiri dan bukan merupakan masalah pokok yang dihadapi bangsa ini. Masalah pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah KKN yang sudah membuat manusianya rusak. Kerusakan karakter, tata nilai, moral, akhlak dari banyak elit bangsa Indonesia yang berkuasa merusak segala-galanya, termasuk lembaga-lembaga pemerintahan dan mekanisme kerjanya. Karena itu, selama manusia-manusianya yang sudah rusak itu tidak diperbaiki terlebih dahulu, konsep tentang perbaikan pemerintahan yang sebagus apapun tidak ada gunanya. Bukan hanya konsepnya yang bagus tidak ada gunanya, tetapi kalaupun organisasinya kita bangun secara sempurna yang lengkap dengan sistem dan prosedurnya, tetap saja tidak ada gunanya. Mengapa ? Karena manusia yang sudah rusak akan menggunakan kemampuan otaknya yang luar biasa justru untuk membuat organisasi yang sudah direformasi seperti apapun tidak akan bekerja, karena bekerjanya organisasi yang sempurna bertentangan dengan kepentingan korupsinya. Ini tidak berarti bahwa pembangunan organisasi tidak ada gunanya. Kaitan antara faktor-faktor krusial dari organisasi pemerintahan yang memperkuat perbaikan manusia dalam pemberantasan korupsi akan saya kemukakan. Syarat mutlak dari perbaikan pemerintahan adalah pemberantasan atau pengurangan korupsi secara signifikan. Konsep Carrot and Stick Konsep pemberantasan korupsi sederhana, yaitu menerapkan carrot and stick. Keberhasilannya sudah dibuktikan oleh banyak negara, antara lain Singapura dan yang sekarang sedang berlangsung di China. Carrot adalah pendapatan neto untuk pegawai negeri, baik sipil maupun TNI dan Polisi yang jelas mencukupi untuk hidup dengan standar yang sesuai dengan pendidikan, pengetahuan, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya. Kalau perlu pendapatan ini dibuat demikian tingginya, sehingga tidak saja cukup untuk hidup layak, tetapi cukup untuk hidup dengan gaya yang “gagah”. Tidak berlebihan, tetapi tidak kalah dibandingkan dengan tingkat pendapatan orang yang sama dengan kwalifikasi pendidikan dan kemampuan serta kepemimpinan yang sama di sektor swasta. Stick adalah kalau kesemuanya ini sudah dipenuhi dan masih berani korupsi, hukumannya tidak tanggung-tanggung, karena tidak ada alasan sedikitpun untuk melakukan korupsi. Salary System Sistem penggajian PNS dan TNI/POLRI menjadi sangat ruwet, karena mengandung banyak unsur seperti gaji pokok, tunjangan jabatan dan berbagai tunjangan lainnya, tunjangan in natura dsb. Maka dalam makalah ini kesemuanya digabung menjadi satu setelah dipotong pajak dengan istilah “pendapatan bersih”. Sistem penggajian harus dibenahi yang sesuai dengan merit system. Yang tingkat pekerjaan serta tanggung jawabnya lebih berat harus mendapatkan pendapatan neto yang lebih besar. Yang dimaksud adalah bahwa penjenjangan tingkat pendapatan neto harus proporsional dan adil. Yang sekarang berlaku adalah bahwa gaji Presiden lebih rendah dari pendapatan Direktur Utama BUMN. Pendapatan neto seorang Menteri lebih rendah dari pegawai menengah dari BPPN. Maka tindakan pertama adalah membenahi keseluruhan pendapatan neto dari pegawai negeri sipil maupun TNI dan POLRI yang diselaraskan sampai proporsional dan adil berdasarkan merit system. Reformasi dan Perampingan Birokrasi Jumlah pegawai negeri kita sekitar 4 juta orang. Kalau kita secara sekilas saja memperhatikan besarnya gedung-gedung departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), serta gedung-gedung pemerintah lainnya, segera saja muncul pertanyaan di benak kita, berapa pegawai negeri yang bekerja di dalamnya. Lebih-lebih lagi sulit dibayangkan apa saja yang dikerjakan selama jam-jam kerja. Jumlah PNS yang demikian besarnya tentu tidak terlepas dari kenyataan bahwa selama RI berdiri sampai sekarang tidak pernah dilakukan audit terhadap struktur organisasi, jumlah personalia, kualitas manusianya, garis-garis komunikasi, rentang kendali atau span of control, sistem dan prosedur pengambilan keputusan dan sebagainya. Maka berlakulah apa yang dalam dunia ilmu organisasi dan manajemen dikenal dengan hukum Parkinson. Teori ini mengatakan bahwa manusia selalu mempunyai kebutuhan dirinya dianggap penting oleh sekelilingnya. Simbol bahwa dirinya penting adalah kalau dirinya mempunyai banyak anak buah yang dalam hirarki organisasi adalah bawahannya. Maka tanpa sadar bagaikan hukum alam setiap orang dalam organisasi ingin menunjukkan bahwa dirinya penting dengan mengangkat bawahan. Semakin banyak bawahannya semakin dianggap penting kedudukannya dalam masyarakat. Dengan berlakunya teori ini yang sampai dinamakan “hukum alam”, setiap organisasi mempunyai kecenderungan membengkak tanpa ada gunanya. Dalam organisasi perusahaan swasta yang seringkali jauh lebih besar dari sebuah kementerian, sudah menjadi kebiasaan bahwa secara teratur, misalnya setiap 3 sampai 5 tahun sekali, organisasinya di-audit. Diteliti oleh para akhli organisasi dan manajemen apakah organisasinya masih optimal untuk mencapai tujuan dari organisasi yang bersangkutan. Caranya, para ahli atau konsultan itu tidak melihat pada struktur organisasi yang ada. Mereka mewawancarai pimpinan tertinggi sampai habis-habisan tentang tujuan apa yang hendak dicapai oleh organisasinya. Kesemuanya ini direnungkan dengan mendalam. Para akhli dan konsultan menggunakan keakhliannya menyusun organisasi yang pas dan yang optimal untuk mencapai tujuan organisasi. Yang disusun bukan hanya strukturnya, tetapi juga jumlah personalianya, kwalifikasinya, tugas, tanggung jawabnya, sistem dan prosedur pengambilan keputusan, sistem komunikasi dan rentang kendali organisasi atau span of control. Setelah keseluruhan dari organisasi yang ideal terbentuk, dibicarakan mendalam dengan para pimpinan kunci untuk penyempurnaannya. Setelah sempurna betul dan menjadi milik pimpinan organisasi, pimpinan tersebut dengan sendirinya mempunyai komitment tinggi untuk merealisasikannya. Keseluruhan gambar dan penjelasan dari organisasi yang optimal ini dibandingkan dengan organisasi yang ada. Hampir dapat dipastikan bahwa organisasi yang ada terlampau besar, acak-acakan, garis-garis komunikasi simpang siur dan tumpang tindih dan sebagainya. Adalah tugas pimpinan organisasi – yang kalau perlu dapat didampingi oleh para konsultan manajemen – yang mengubah organisasi yang ada menjadi yang baru. Prosedur ini dinamakan structure follows strategy. Ini adalah kebalikan dari yang biasa kita alami. Setiap kali organisasi baru dibentuk atau organisasi lama hendak dibenahi, yang pertama dilakukan adalah menggambar struktur organisasi yang sudah kita kenal, yaitu kotak-kotak yang disusun secara vertikal dan horisontal. Setelah struktur selesai barulah diisi dengan nama-nama orang-orang yang akan ditempatkan dalam posisi yang sudah digambarkan dalam kotak-kotak tersebut. Prosedur ini sangat salah, tetapi sangat lazim dilakukan orang karena keawamannya dalam bidang ilmu organisasi dan ilmu manajemen. Prosedur yang salah ini disebut strategy follows structure. Jelas bahwa strategi dikalahkan oleh organisasi yang disodorkan. Bagaimana mungkin tujuan dapat tercapai secara optimal? Kita bayangkan apa jadinya kalau birokrasi kita yang selama 57 tahun tidak pernah di-audit seperti yang digambarkan di atas, dan coba dibayangkan betapa jumlah PNS dapat diperkecil dengan segala penghematan yang menyertainya. Apa hubungan reformasi birokrasi yang digambarkan ini dengan pemberantasan korupsi ? Hubungannya sangat erat. Saya sangat yakin bahwa kalau birokrasi disusun sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuannya yang optimal, jumlah PNS dapat diperkecil banyak sekali. Pengeluaran untuk gaji, ruang kerja, ATK, listrik, biaya perjalanan dan sebagainya akan dapat dihemat dalam jumlah yang besar. Dampaknya adalah tersedianya sebagian dana yang dibutuhkan untuk menaikkan pendapatan bersih yang dibutuhkan untuk memberlakukan carrot and stick. Dengan pendapatan yang jelas cukup, bahkan cukup “mewah” atau comfortable, kita dapat dengan tenang menghukum seberat-beratnya yang masih melakukan korupsi. Dampak yang tidak langsung berhubungan dengan pemberantasan korupsi dari reformasi birokrasi adalah efektivitas dari birokrasi. Karena birokrasi menciut, kita dapat menempatkan orang-orang yang paling kapabel. Mereka pasti mau karena pendapatan bersihnya sangat memadai dan sama dengan kalau mereka bekerja di sektor swasta yang pendapatannya sudah didasarkan atas merit system dan tingginya sudah sama dengan yang berlaku di segmen-segmen lain masyarakat dalam segala jenjangnya. Pembiayaan Yang menjadi kendala adalah pembiayaan. Pembiayaannya sangat besar, karena kita harus menyediakan dana untuk memberikan pesangon buat yang harus di PHK. Pesangon ini harus cukup besar. Pertama supaya manusiawi. Kedua supaya pesangon yang dibuat demikian besarnya membuat tergiur untuk di-PHK, dan ketiga, supaya yang di-PHK mempunyai waktu yang cukup panjang untuk mencari pekerjaan lain. Alternaif lain Konsep tentang pemberantasan korupsi seperti yang diuraikan di atas membutuhkan dana sangat besar seperti yang telah dikemukakan. Alternatif lain yang dapat dilakukan lebih cepat dengan pembiayaan yang lebih kecil adalah pemberantasan korupsi yang tidak serempak, tetapi setahap demi setahap yang dimulai dari atas. Konsep ini pernah dibicarakan dalam pemerintahan Abdurrachman Wahid dan pada prinsipnya telah diterima oleh beliau sebagai Presiden. Namun batal diimlementasikan. Dalam konsep tersebut pendapatan bersih yang mencukupi diberikan kepada Presiden, Wakil Presiden, para Menteri, Sekjen, Dirjen, Direktur, Kepala Biro dan Pimpro. Kecuali itu juga jabatan-jabatan yang krusial dan rawan korupsi, yaitu para pejabat pajak, Jaksa, Polisi, para Hakim, para Anggota DPR, para pejabat bea cukai dan lain-lainnya lagi yang perlu diinventarisasi secara teliti. Intinya adalah mengenali sektor-sektor dari birokrasi yang krusial dalam pembocoran keuangan negara. Pendapatan bersih mereka harus cukup besar, sehingga tidak hanya cukup untuk hidup layak, tetapi cukup untuk hidup dengan “gagah”, yaitu bisa menyamai standar yang berlaku di sektor swasta, bahkan di luar negeri. Tetapi kalau setelah itu berani berkorupsi, hukumannya penjara seumur hidup atau hukuman mati. Kalau dengan cara demikian para pejabat tinggi dan PNS yang rawan korupsi itu bisa bebas korupsi atau korupsinya berkurang sangat signifikan, penghematan yang diperoleh dari bebas korupsi atau berkurangnya korupsi secara sangat signifikan di kalangan mereka cukup besar. Dana yang dibutuhkan untuk meningkatkan pendapatan bersih mereka akan jauh lebih kecil dibandingkan dengan penghematan yang diperoleh dari hilangnya atau berkurangnya KKN pada tingkat birokrasi yang paling atas dan paling rawan KKN. Yang menjadi kendala adalah bahwa perbedaan tingkat pendapatan bersih antara yang pendapatan bersihnya dinaikkan dalam rangka program pemberantasan KKN dengan bawahannya langsung akan sangat-sangat besar. Ini akan sulit diterima oleh bawahannya. Ketika itu Gus Dur mengatakan bahwa beliau sanggup mengatasi masalah ini. Namun ketika gagasan ini bocor dan para pengamat mulai menghujat habis-habisan, Gus Dur langsung membatalkan niatnya, sehingga gagasan ini batal dilaksanakan. Mungkin sekarang dapat diulangi dengan memasyarakatkan terlebih dahulu. Kepada yang belum kebagian kenaikan pendapatan bersih secara drastis diminta hidup dengan cara yang sudah lama dilakukan, yaitu kekurangannya ditutup dengan korupsi. Korupsi yang mereka lakukan kita tolerir dengan menutup sebelah mata. Jumlah yang dikorup toh tidak terlalu besar, karena kekuasaannya yang tidak besar dan tidak relevan atau krusial bagi para penyuap. Dengan penghematan yang dipeoleh dari bebas korupsinya golongan yang tertinggi dan golongan dengan kekuasaan yang laku dikomersialkan seperti yang telah dirinci tadi, setahap demi setahap peningkatan pendapatan bersih bagi seluruhnya akan dapat tercapai. Kritik Gagasan seperti ini langsung saja dikritik. Dalam kabinet Gus Dur tidak sedikit Menteri dan anggota DPR yang langsung saja mengkritik dengan tajam, mengatakan bahwa pemerintah tidak tahu diri, karena bagian terbesar dari rakyat hidup dalam kemiskinan, kok pemerintah menaikkan pendapatan bersih untuk dirinya sendiri sampai standar internasional. Juga dikatakan bahwa telah dicoba dalam lingkungan Departemen Keuangan yang pernah ditingkatkan 10 kali lipat dan toh masih korup. Jawab saya terhadap kritik-kritik tersebut adalah karena yang masih berkorupsi tidak diapa-apakan. Jadi carrot-nya diberikan, tetapi stick-nya tidak diterapkan. Kritik lainnya adalah bahwa naluri manusia untuk mengumpulkan harta kekayaan tidak ada batasnya. Buktinya, para koruptor itu sudah berkorupsi sampai memupuk kekayaan bernilai ratusan milyar dan trilyunan rupiah. Tetapi mereka masih saja dengan penuh semangat berkorupsi terus. Memang benar. Mengapa ? Lagi-lagi karena tidak diapa-apakan, dan mereka sudah terlanjur mempunyai kekayaan yang demikian besarnya, sehingga apapun dapat dibeli yang membuat mereka menjadi kebal hukum. Mengapa semua bisa dibeli ? Karena kalau kekuasaan dijual, baik yang menjual maupun yang membeli tidak diapa-apakan. Kalau ada pejabat negara yang mengatakan gaji tidak perlu dinaikkan, mereka itu karena korup dan tidak mau korupsi berhenti. Kemungkinan lain adalah mereka sudah kaya dari asalnya, sehingga memang bisa mengabdi kepada negara dengan pendapatan yang jelas tidak cukup untuk hidup layak. Atau famili dan sanak saudaranya mempunyai pendapatan legal cukup besar yang dapat menunjang kehidupannya dalam baktinya kepada nusa dan bangsa dengan gaji dari pemerintah yang jelas hanya cukup untuk hidup satu atau dua minggu saja. Jumlah orang yang demikian sangat sedikit, dan yang sudah sedikit itu belum tentu, dan bahkan kebanyakan tidak berminat mengabdi kepada kepentingan orang banyak. Jadi kelompok ini tidak dapat diandalkan sebagai penyelenggara negara. Lagipula, yang kita kehendaki adalah demokrasi, bukan plutokrasi. Juga ada kritikan yang mengemukakan bukti bahwa para pegawai BPPN itu tanpa dapat diragukan sedikitpun tingkat pendapatan bersihnya cukup untuk hidup dengan sangat gagah. Memang betul, karena mereka direkrut dari perusahaan-perusahaan swasta. Mereka tidak mau bekerja dengan tingkat pendapatan bersih yang lebih kecil. Toh mereka masih korup dalam skala yang luar biasa dan dengan teknik-teknik yang canggih. Banyak dari mereka yang dahulu para teknokrat yang bekerja pada konglomerat bankir yang menjebol banknya sendiri sampai dirawat di BPPN. Sekarang BPPN dibobol lagi oleh para teknokrat yang sama. Mengapa ? Sekali lagi, karena tidak ada hukumannya. Maka kritik-kritik tersebut semuanya tidak dapat mematahkan ampuhnya carrot and stick kalau, sekali lagi kalau stick-nya diterapkan betulan. Hukuman koruptor Dalam masyarakat yang tingkat korupsinya sudah seperti Indonesia, hukuman yang setengah-setengah sudah tidak mempan lagi. Mulainya dari mana juga merupakan masalah besar tersendiri, karena boleh dikatakan semuanya sudah terjangkit penyakit korupsi. Dalam mengenali masalah kita sudah lumayan, karena istilah yang sudah memasyarakat bukan hanya korupsi, tetapi korupsi, kolusi dan nepotisme yang terkenal dengan singkatan KKN. Memang korupsi sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari kolusi, karena korupsi selalu dilakukan oleh lebih dari satu orang. Nepotisme juga merupakan faktor sangat penting, karena korupsi kebanyakan mendapat dorongan dan dukungan kuat dari anak, isteri dan famili terdekat. Itulah sebabnya kalau hukuman yang diterapkan tidak drastis, upaya pemberantasan korupsi dapat dipastikan gagal. Untuk Indonesia, hukuman yang paling tepat adalah hukuman mati. Paling tidak hukuman seumur hidup. Kecuali itu, seperti telah diindikasikan oleh istilah KKN, hukuman tidak saja dikenakan pada yang melakukan korupsi, tetapi juga isteri dan anak-anaknya. Seperti dikatakan tadi, kebanyakan penguasa melakukan korupsi karena dorongan, rayuan atau rengekan dari isteri, suami atau anak-anak. Maka pelakunya dihukum mati, dan anak-anak dan isterinya juga harus dikenakan hukuman. Bentuk hukuman itu misalnya diperlakukan sebagai orang yang telah bangkrut. Semua harta kekayaannya disita. Mereka hanya dibolehkan hidup yang dibatasi standarnya. Misalnya mereka hanya dibolehkan bertempat tinggal di rumah sederhana, hanya boleh menggunakan kendaraan umum, tidak boleh mempunyai mobil sendiri. Dari mana pemberantasan KKN dimulai? Pemberantasan KKN harus dimulai dari pimpinan tertinggi. Ini tidak berarti hanya Presiden, tetapi semua pimpinan tinggi dan tertinggi negara. Mereka harus sepakat tidak akan melakukan KKN kalau pendapatan bersihnya (net take home pay) memang betul-betul mencukupi untuk hidup sesuai dengan merit system. Kepada mereka harus dijelaskan yang sangat tegas bahwa akan dihukum seberat-beratnya kalau masih melakukan KKN. Orang-orang yang termasuk rawan KKN karena menduduki jabatan-jabatan krusial untuk KKN dipilih yang kiranya dapat diajak mulai membersihkan bangsa kita dari KKN. Kepadanya dijelaskan sejelas-jelasnya bahwa pendapatan bersihnya akan dicukupi sampai benar-benar sangat nyaman. Tetapi kecuali bahwa mereka tidak boleh melakukan KKN dengan ancaman hukuman sangat berat, kepada mereka juga dituntut untuk benar-benar tega dan tegas menghukum yang KKN dan sudah termasuk kategori pendapatan bebas KKN. Kendala pemberantasan KKN yang harus kita kenali dengan baik Memang ada orang-orang yang pada dasarnya curang. Terutama kalau yang digelapkan untuk dirinya sendiri adalah uang milik publik, yaitu uang milik pemerintah. Seperti kita ketahui, bagian terbesar dari uang milik pemerintah berasal dari pajak. Untuk uang ini tidak ada yang merasa memiliki secara individual. Yang memberikan uang ini kepada pemerintah sebagai pembayaran pajak merasakannya sebagai kewajiban yang sudah termasuk dalam rencana pengeluarannya. Para pembayar pajak itu tidak peduli hasil pajak akan dipakai untuk apa. Maka kalau dicuri oleh para penguasa mereka juga tidak terlampau peduli. Namun sikap yang demikian berlaku pada masyarakat yang kurang terdidik. Untuk menyadari sepenuhnya bahwa uang pemerintah adalah hasil kontribusinya membutuhkan cara berpikir yang lebih abstrak. Kita mengetahui bahwa semakin tinggi tingkat intelektual seseorang, semakin mampu dia berpikir secara lebih abstrak. Cara berpikir yang lebih abstrak selalu berasal dari falsafah. Di Indonesia, para lulusan perguruan tinggi yang sampai jenjang doktor-pun bangga menyebut dirinya sendiri seorang teknokrat. Hanya Dr. Daoed Joesoef yang tidak senang disebut teknokrat. Dia minta disebut teknosoof, yaitu yang menguasai ilmu pengetahuan yang bersifat teknis, tetapi juga menguasai filosofi. Di Jerman, lulusan perguruan tinggi yang hanya menguasai pengetahuan yang bersifat teknis saja disebut Fach Idiot. Artinga dia menguasai ilmu pengetahuan yang sangat teknis dan mendalam sekali, tetapi di luar itu dia tidak tahu apa-apa, bahkan yang bersifat falsafati sedikit saja, dia adalah seorang idiot. Di Indonesia yang sangat dominan adalah para teknokrat dan bukan teknosoof. Itulah sebabnya mereka tidak dapat berpikir secara mendalam dan hakiki karena membutuhkan pikiran abstrak yang falsafati, walaupun sedikit saja. Dan karena itu, bersama-sama dengan para pengusaha mereka merasa bahwa menggelapkan uang milik publik tidak apa-apa. Uang ini tidak mempunyai pemilik yang dapat diidentifikasi secara individual. Untuk meyakini bahwa uang ini milik orang banyak yang harus dikelola dengan baik serta dipertanggung jawabkan membutuhkan daya pikir yang lebih abstrak, yang kebanyakan belum dimiliki oleh elit bangsa kita, baik di jajaran pemerintahan maupun di kalangan pengusaha. Tidak jarang terjadi bahwa kritikan tentang betapa uang pembayar pajak dipakai secara irasional dijawab oleh pejabat tinggi bahwa pembayar pajaknya sendiri tidak ada yang menggerutu. Tidak ada pengusaha yang merasa jijik menyaksikan pengusaha lainnya menyelundup pajak. Mereka bahkan saling membanggakan dan saling menukar pengetahuan bagaimana caranya menyelundup pajak. Untuk memberantas fenomena ini, hukuman yang sama kerasnya buat yang menyuap juga harus dikenakan. Pendidikan dan pemberian pengertian tentang pentingnya pajak untuk peningkatan kemakmuran, kesejahteraan dan kenyamanan kehidupan kita bersama sangat penting. Pemahaman ini sangat minimal di Indonesia. Izinkanlah saya sekarang mengemukakan apa semua yang sudah dirusak oleh KKN yang telah berlangsung demikian lamanya ? DAYA RUSAK KKN Kerusakan oleh KKN yang sudah menjelma menjadi kerusakan pikiran, perasaan, moral, mental dan akhlak membuahkan kebijakan-kebijakan yang sangat tidak masuk akal. Akibatnya ketidak adilan dan kesenjangan yang besar. Sekedar sebagai ilustrasi, per tahun 1988, jumlah seluruh perusahaan di Indonesia 36.816.409. Yang berskala besar sejumlah 1.831 atau 0,01 %. Tetapi andilnya dalam pembentukan PDB sebesar 40 %. Yang 99,99 % memberi andil hanya sebesar 60 %. Dalam andilnya memberikan lapangan kerja, perusahaan kecil menengah yang 99,99 % itu menyerap sebanyak 99,44 % dari jumlah orang yang bekerja. Setiap perusahaan besar menyumbang Rp. 238 milyar GDP setiap tahunnya. Perusahaan kecil menengah rata-ratanya menyumbang sebesar Rp. 17 juta per tahunnya. Sumbangan rata-rata dari setiap perusahaan besar terhadap GDP 14.000 kali lipat dari sumbangan rata-rata perusahaan kecil menengah kepada GDP. Karena pembentukan GDP kurang lebihnya juga mencerminkan peran atau pendapatan rata-rata, maka ketimpangan pendapatan rata-rata antara perusahaan besar dan perusahaan yang skala kecil menengah timpangnya seperti ini. Kondisi ini diciptakan oleh para penguasa terpandai selama orde baru yang oleh majalah Time pernah dijuluki sebagai the most qualified cabinet in the world. Bagaimana gambaran yang lebih menyeluruh dari kondisi bangsa kita sekarang ? Negara kita yang kaya akan minyak telah menjadi importir neto minyak untuk kebutuhan bangsa sendiri. Negara yang dikaruniai dengan hutan yang demikian luas dan lebatnya sehingga menjadikannya negara produsen eksportir kayu terbesar di dunia dihadapkan pada hutan-hutan yang gundul dan dana reboisasi yang praktis nihil karena dikorup. Walaupun telah gundul, masih saja terjadi penebangan liar yang diselundupkan ke luar negeri dengan nilai sekitar 2 milyar dollar AS. Sumber daya mineral kita dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab dengan manfaat terbesar jatuh pada kontraktor asing dan kroni Indonesianya secara individual. Rakyat yang adalah pemilik dari bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya memperoleh manfaat yang sangat minimal. Ikan kita dicuri oleh kapal-kapal asing yang nilainya diperkirakan antara 3 sampai 4 milyar dollar AS. Hampir semua produk pertanian diimpor. Pasir kita dicuri dengan nilai yang minimal sekitar 3 milyar dollar AS. Republik Indonesia yang demikian besarnya dan sudah 57 tahun merdeka dibuat lima kali bertekuk lutut harus membebaskan pulau Batam dari pengenaan pajak pertambahan nilai setiap kali batas waktu untuk diberlakukannya pengenaan PPn sudah mendekat. Semua orang menjadikan tidak datangnya investor asing sebagai instrumen untuk mengancam sikap dan pikiran yang sedikit saja mencerminkan keinginan untuk mandiri, dan keinginan untuk mempunyai percaya diri serta harga diri. Sikap percaya diri dan sikap harga diri langsung dihujat sebagai sikap anti asing yang kerdil seperti katak dalam tempurung. Sikap yang demikian dianggap sebagai sikap yang berbahaya karena akan membuat kita miskin. Kita dibuat yakin oleh para pemimpin bangsa kita bahwa kita tidak mungkin hidup layak tanpa utang atau bantuan dari negara-negara lain. Industri-industri yang kita banggakan hanyalah industri manufaktur yang sifatnya industri tukang jahit dan perakitan yang bekerja atas upah kerja dari para majikan asing dengan laba yang berlipat-lipat ganda dari upah atau maakloon yang membuat pemilik industri perakitan dan industri penjahitan itu cukup kaya atas penderitaan kaum buruh Indonesia seperti yang dapat kita saksikan di film “New Rulers of the World” buatan John Pilger. Pembangunan dibiayai dengan utang luar negeri melalui organisasi yang bernama IGGI/CGI yang penggunaannya diawasi oleh lembaga-lembaga internasional. Sejak tahun 1967 setiap tahunnya pemerintah mengemis utang dari IGGI/CGI sambil para menterinya dimintai pertanggung jawaban tentang bagaimana mereka mengurus bangsanya sendiri ? Anehnya, setiap tahun mereka bangga kalau utang yang diperoleh bertambah. Mereka merasa bangga dapat memberikan pertanggung jawaban kepada IGGI ketimbang kepada parlemennya sendiri. Utang dipicu terus tanpa kendali sehingga sudah lama pemerintah hanya mampu membayar cicilan utang pokok yang jatuh tempo dengan utang baru atau dengan cara gali lubang tutup lubang. Sementara ini dilakukan terus, sejak tahun 1999 kita sudah tidak mampu membayar cicilan pokok yang jatuh tempo. Maka dimintalah penjadwalan kembali. Hal yang sama diulangi di tahun 2000 dan lagi di tahun 2002. Kali ini pembayaran bunganya juga sudah tidak sanggup dibayar sehingga juga harus ditunda pembayarannya. Jumlahnya ditambahkan pada utang pokok yang dengan sendirinya juga menggelembung yang mengandung kewajiban pembayaran bunga oleh pemerintah. Bank-bank kita digerogoti oleh para pemiliknya sendiri. Bank yang kalah clearing dan harus diskors diselamatkan oleh Bank Indonesia dengan menciptakan apa yang dinamakan fasilitas diskonto. Setelah itu masih kalah clearing lagi, dan diselamatkan lagi dengan fasilitas diskono ke II. Uang masyarakat yang dipercayakan kepada bank-bank dalam negeri dipakai sendiri oleh para pemilik bank untuk mendanai pembentukan konglomerat sambil melakukan mark up. Legal Lending Limit dilanggar selama bertahun-tahun dalam jumlah yang menghancurkan banknya dengan perlindungan oleh Bank Indonesia sendiri. Maka ketika krisis ekonomi melanda Indonesia di akhir tahun 1997, terkuaklah betapa bank sudah hancur lebur. Kepercayaan masyarakat menurun drastis. Ketika itu rupiah melemah dari Rp. 2.400 per dollar menjadi Rp. 16.000 per dollar. Dalam kondisi yang seperti ini Indonesia yang anggota IMF dan patuh membayar iurannya menggunakan haknya untuk minta bantuan. Kehilangan kemandirian Kita mengetahui bahwa paket bantuan dari IMF disertai dengan conditionalities yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. Namun tidak kita perkirakan semula bahwa isinya demikian tidak masuk akal dan demikian menekan serta merugikannya. Juga tidak kita perkirakan pada awalnya bahwa kehadiran IMF di Indonesia menjadikan semua lembaga internasional seperti CGI, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia bersatu padu dalam sikap dan persyaratan di bawah komando IMF. IMF mensyaratkan bahwa pemerintah melaksanakan kebijakan dan program yang ditentukan olehnya, yang dituangkan dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) atau lebih memasyarakat dengan nama Letter of Intent atau LOI. Bank Dunia setiap tahunnya juga menyusun apa yang dinamakan Country Strategy Report tentang Indonesia yang harus dilaksanakan kalau tidak mau diisolasi oleh negara-negara CGI yang sampai sekarang setiap tahun memberikan pinjaman kepada Indonesia. Justru karena jumlah utang keseluruhannya sudah melampaui batas-batas kepantasan dan prinsip kesinambungan, untuk sementara dan entah sampai kapan kita tidak dapat hidup tanpa berutang terus setiap tahunnya kalau kita tidak mau bahwa puluhan juta anak miskin kekurangan gizi dan putus sekolah. Demikianlah yang ditakut-takutkan kepada kita oleh lembaga-lembaga internasional beserta kroni-kroni Indonesianya. Kalau kita baca setiap LOI dan setiap Country Strategy Report serta setiap keikut sertaan lembaga-lembaga internasional dalam perumusan kebijakan pemerintah, kita tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan bahwa yang memerintah Indonesia sudah bukan pemerintah Indonesia sendiri. Jelas sekali bahwa kita sudah lama merdeka secara politik, tetapi sudah kehilangan kedaulatan dan kemandirian dalam mengatur diri sendiri. Ketidak warasan yang tercermin dari angka-angka Utang dalam negeri pemerintah yang muncul mendadak dalam mem-bail out perbankan yang keseluruhannya saya tuangkan dalam buku ini (tunjukkan) yang saya bagikan kepada audience yang terhormat, sudah jelas membuat APBN tahun 2003 tidak sustainable. Toh dikatakan oleh Tim Ekonomi dari pemerintahan sekarang bahwa APBN sustainable dan masih akan sustaianble terus di tahun-tahun mendatang. Apa yang diartikan dengan APBN yang sudah tidak suatainable ? Apakah kalau sudah benar-benar tidak ada uang untuk mambayar kewajibannya kecuali mencetak uang ? Menurut saya tidak. Budget atau fiskal sudah tidak sustanable kalau budget itu sudah membuat social upheaval. Yang kita alami sejak tanggal 1 Januari selama ……. hari lamanya dengan demo yang menyeluruh adalah social upheaval yang disebabkan karena dinaikkannya harga-harga BBM, listrik dan telepon secara serempak, karena pemerintah harus mensubsidi bank-bank sebesar Rp. 91 trilyun, yaitu Rp. 35,9 trilyun untuk membayar cicilan utang pokoknya dan Rp. 55,2 trilyun untuk membayar bunganya. Sekarang sudah terbukti bahwa kebijakan OR yang saya gugat dan menjadikan saya bermusuhan dengan IMF telah menjelma menjadi budget yang tidak sustainable, tetapi dipaksakan dengan memajaki rakyat banyak, sehingga terjadi social upheaval. Dalam bidang utang luar negeri, apakah kita boleh mengatakan bahwa utang luar negeri kita sustainable dan karena itu boleh menambah utang terus ? Jauh sebelum tahun 1999 utang luar negeri yang jatuh tempo hanya dapat dibayar dengan utang baru atau dengan cara gali lubang tutup lubang. Tetapi di tahun 1999 praktek ini tidak mempan lagi. Maka dimintalah rescheduling utang di Paris Club I. Di tahun 2000 dimintakan lagi rescheduling di Paris Club II, dan di tahun 2002 dimintakan rescheduling lagi. Kali ini bukan hanya utang pokoknya, tetapi juga bunga yang sudah jatuh tempo. Toh dianggap sustainable sehingga CGI masih terus saja bersedia memberikan utangan baru. Ini mencerminkan corrupted mind yang sudah membuat dirinya percaya atas kebohongan terhadap dirinya sendiri. Mula-mula batas kewajaran utang luar negeri diukur dengan Debt Service Ratio (DSR) dengan ambang bahaya sebesar 20 %. Ketika angka ini dilampaui, ukurannya diubah menjadi berapa % dalam PDB, yang lantas dikatakan masih tidak apa-apa tanpa peduli bahwa sudah tiga kali dimintakan rescheduling di Paris club, dan entah masih harus dimintakan berapa kali lagi di tahun-tahun mendatang. Corrupted mind bagi saya juga sudah menjelma ke dalam penentuan defisit budget. Seperti kita ketahui, kalau kewajiban mengeluarkan uang dapat ditunda, jumlah ini dianggap bukan elemen defisit. Dalam hal utang dalam negeri, OR yang jatuh tempo dapat ditunda pembayarannya hanya dengan satu tanda tangan saja. Lantas berkuranglah defisitnya. Dengan demikian, berapa besar defisit budget dapat ditentukan semaunya sendiri dengan cara menangguhkan kewajiban pembayaran OR. Lalu dikatakanlah dengan sukacita bahwa defisit bisa ditekan sangat rendah. Buat saya jelas sekali bahwa praktek seperti ini membohongi diri sendiri dan membohongi publik. Tetapi corrupted mind melakukannya dengan tenang dan dengan sombong! Dapatkah Indonesia hidup tanpa utang? Jelas dapat kalau KKN dapat dihilangkan. Dalam bidang perpajakan, pendapatan pajak kita untuk tahun anggaran 2003 diperkirakan sebesar Rp. 240 trilyun. Jumlah ini dinilai terlalu kecil karena tax ratio kita yang masih rendah. Maka ekstensifikasi dan intensifikasi akan ditingkatkan. Tidak ada yang berbicara tentang kebocoran pajak. Dalam praktek jumlah sisa pajak yang harus dibayar pada setiap akhir tahun ditentukan bersama antara wajib pajak dan pejabat pajak. Kalau jumlah sudah disetujui sebesar Rp. 400 juta misalnya, sering sekali yang masuk ke kas negara hanya Rp. 100 juta. Pembayar pajak diberi tanda terima dari kas negara dan dijamin tidak diganggu lagi. Katakanlah bahwa tidak ¾ yang tidak masuk ke kas negara. Kita aman mengasumsikan bahwa yang masuk ke kas negara hanya 50 %. Sisanya dikorup oleh pejabat pajak. Biaya korupsi perolehan pajak ini diperkirakan mencapai Rp. 80 trilyun. Ditambah dengan ikan, pasir dan kayu yang dicuri senilai $ 9 milyar jumlahnya sudah mencapai $ 17 milyar. Kalau obligasi rekapitalisasi perbankan dapat ditarik kembali dengan cara-cara yang dapat dipertanggung jawabkan, paling sedikit dapat dihemat $ 4 milyar lagi. Kesemuanya ini sudah mencapai angka $ 21 milyar hanya dalam satu tahun, sedangkan utang luar negeri kita seluruhnya sekitar $ 76 milyar. Kalau kebocoran anggaran rutin dan anggaran pembangunan diperkirakan 20 % saja, yang bocor sudah sebesar Rp. 74 trilyun lagi. Seluruhnya menjadi $ 28,4 milyar atau Rp. 284 trilyun. Kita menyia-nyiakan uang sebesar US $ 28,4 milyar, tetapi hari ini mengemis kepada Tuan-Tuan sebesar sekitar US $ 3 milyar, atau bahkan lebih kecil. Apa penyebabnya? Orangnya yang menduduki seluruh jajaran pemerintahan korup, dan karena itu manusia-manusia ini yang harus menjadi obyek dan fokus perbaikan terlebih dahulu. Banyak konsep yang kita kembangkan dan telah menelan puluhan kalau tidak ratusan juta dollar adalah konsep-konsep yang sudah ada di dalam buku teks dan sudah dikuasai oleh banyak sekali putera-puteri Indonesia yang telah belajar dan mendapatkan gelar Ph.D. dari universitas-universitas terbaik di dunia. Masalahnya bukan perbaikan organisasi dan sistem yang merupakan barang mati, tetapi manusianya yang harus menjalankannya. Segala sesuatu yang saya kemukakan telah dibukukan dengan jauh lebih lengkap dalam buku ini (tunjukkan) yang telah dibagikan kepada Tuan-Tuan sekalian. Beberapa puluh ribu eksemplar dalam bahasa Indonesia juga sudah disebar luaskan kepada banyak kalangan. Diposkan oleh RADAR JAMBI di 09:36:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar