Laman

Kamis, 17 Februari 2011

TAKUT: SETELAH POLISI, PEMERINTAH SEKARANG DPR PUN TAKUT SAMA ORMAS ANARKIS

BERITA KERINCI
 

Cuplikan video penyerangan jemaah Ahmadiyah di Pandeglang, Banten
Kasus Ahmadiyah Melenggang ke Senayan
"Kita bicara pelaku bukan ormas, yang penting pelaku ditangkap dan diadili."
Jum'at, 18 Februari 2011, 09:38 WIB

Cuplikan video penyerangan jemaah Ahmadiyah di Pandeglang, Banten

Kasus kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah akhirnya dibawa ke Senayan. Dewan Perwakilan Rakyat memanggil sejumlah tokoh agama untuk menggali akar masalah ini.

Setara Institute mencatat, pada kurun 2008-2010, ada 276 kali aksi kekerasan atas Ahmadiyah. Terbanyak pada 2008, 193 kasus, atau 73 persen total kekerasan atas kaum minoritas di tahun itu. Pada 2009 dan 2010, Ahmadiyah diganyang sebanyak 33 dan 50 kali.

Puncak tragedi berdarah terjadi pada Ahad, 6 Februari 2011. Tiga orang tewas dalam penyerbuan rumah mubalig Ahmadiyah, Suparman, di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten. Mereka adalah Roni (30 tahun), Mulyadi, (30) dan Tarno (25).

Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia Abdul Basit mengatakan, kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah mulai marak sejak 2005. "Meski kerap terjadi perdebatan panas, tak tercatat ada kekerasan pada 1980-an, masa pemerintahan Soeharto," kata dia beberapa waktu lalu.

Untuk mencari akar masalah ini, Rabu 16 Februari, Komisi Sosial Keagamaan DPR memanggil petinggi Ahmadiyah ke kantor DPR, Senayan, Jakarta. Lalu hari berikutnya, DPR memanggil mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, cendekiawan Muslim yang juga mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafi'i Ma'arif, dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj, dan cendekiawan Muslim Azyumardi Azra.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ahmad Zainudin mengatakan, dalam pertemuan itu DPR meminta Ahmadiyah memaparkan kekerasan yang dialaminya, terutama dalam kasus Cikeusik, Pandeglang, Banten. "Kami ingin dengarkan permasalahan yang menimpa mereka," kata Zainudin.

Menurut dia, pertemuan DPR dan Ahmadiyah juga menggali masalah krusial seperti pengaturan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri dan rencana penyusunan RUU Kerukunan Beragama.

SKB yang ditandatangani Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung pada 9 Juni 2008 ini sebenarnya merupakan rambu-rambu hubungan antara Ahmadiyah dengan umat Islam. SKB ini muncul setelah banyaknya permintaan pembubaran Ahmadiyah. Sebelumnya, pada 1980, Majelis Ulama Indonesia menyatakan ajaran itu sesat.

***

Rapat dengar pendapat antara DPR dengan Ahmadiyah pada Rabu berlangsung hingga lewat tengah malam. Anggota Dewan mendengarkan paparan pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia soal tragedi Cikeusik versi mereka dan juga soal ajaran aliran itu.

Di penghujung rapat, Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah, Abdul Basit, mengungkapkan harapan mereka. "Kami lahir di sini sebagai bangsa Indonesia. Kami minta hak konstitusional kami dijamin," kata dia di Gedung DPR, Senayan, Kamis, 17 Februari 2011. "Oleh karena itu, biarkanlah kami bebas menganut agama yang kami yakini. Menjadi kewajiban pemerintah menjamin keselamatan kami."

Soal adanya perbedaan akidah, Abdul berpendapat, jalan terbaik adalah dialog, tidak hanya di pusat juga di daerah. "Kalau itupun tidak bisa menyelesaikan perbedaan, it's OK. Kita hidup masing-masing. Seperti Malaysia, misalnya, kami bebas melaksanakan ibadah di tempat kami. Begitu ada potensi kerusuhan polisi datang. Begitu pun di Singapura," katanya.

Sejumlah tokoh menilai, banyaknya penyerangan Ahmadiyah, tidak lain karena SKB Tiga Menteri yang tidak efektif. Namun, Jusuf Kalla menilai SKB ini layak dipertahankan. "Kalau tidak ada SKB justru lebih rumit, karena tidak ada batasan hak masing-masing," kata Jusuf Kalla di Kantor Komnas HAM, Kamis kemarin.

Yang penting, lanjut Kalla, adalah pengakan hukum. "Tegakkan hukum, siapa yang salah dihukum. Kalau ada yang bunuh orang, masa tidak bersalah."

Kalla menambahkan, kelompok manapun yang terbukti melanggar undang-undang, bisa dibubarkan. "Jangan bilang Ahmadiyah saja, ormas juga begitu," ujar Kalla.

Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Shalahudin Wahid atau Gus Sholah mengatakan hal senada. "Meski tidak ideal, SKB adalah yang paling realistis saat ini."

Namun, adik Gus Dur itu berpendapat, aturan itu tak lantas bisa jadi dasar membubarkan Ahmadiyah.

Tokoh Nahdlatul Ulama ini juga sepakat, siapapun yang melanggar hukum harus ditindak. "Kita bicara pelaku bukan ormas, yang penting pelaku ditangkap dan diadili," tutur dia.

Soal kontroversi Ahmadiyah ini, intelektual Muslim Azyumardi Azra, menekankan pentingnya ulama dan tokoh masyarakat mendidik masyarakat. Azyumardi meminta masyarakat tak alergi atas keberadaan warga Ahmadiyah. "Jangan cepat marah. Perkuat saja keimanan kita sendiri," ujarnya.

"Kementerian Agama perlu memberikan pendidikan yang lebih intensif kepada umat Islam supaya keimanannya tidak goyah."

Dia juga menyarankan pemerintah memperkuat toleransi kerukunan umat beragama. Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah ini percaya, Ahmadiyah tak merusak agama Islam. Keberadaan Ahmadiyah tak bakal mengurangi keimanan seseorang. "Keimanan saya tetap saja meskipun ada orang-orang Ahmadiyah," katanya.

Syafi'i Ma'arif juga mengatakan perlunya penegakan hukum. Tokoh yang sering disapa Buya ini menilai kondisi bangsa ini sudah sangat kritis. Alasannya, tidak ada masalah fundamental di negeri ini yang terselesaikan, termasuk masalah perseteruan antarumat beragama.

Buya juga mengritik persoalan ini semua terkait banyaknya kepentingan politik sesaat dan jangka pendek --yang masih dijadikan prinsip sejumlah orang. "Jangan hitung-hitungan jangka pendek lagi, mau jadi kepala daerah dan lain-lain," katanya, menegaskan.

***

Kasus Cikeusik yang menyita perhatian berbagai pihak tak cuma menjerat massa penyerang. Polisi juga menetapkan satu jemaat Ahmadiyah, Deden Sujana, sebagai tersangka.

Deden merupakan bagian dari 17 anggota Ahmadiyah Jakarta yang datang ke rumah ustadz Ismail Suparman di Cikeusik. Namun polisi belum menyebut peran Deden dalam bentrokan maut itu.

Yang jelas, polisi sebelumnya menilai, sejumlah jemaat Ahmadiyah yang berada di rumah Suparman itu berlaku provokatif. Mereka sengaja datang dari Jakarta, dan membawa senjata tajam serta peralatan untuk melakukan perlawanan.

Deden sendiri, kabarnya mengalami luka parah. Dia terkena bacok dan masih dirawat di satu rumah sakit. Atas alasan itu, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri, Brigadir Jendral Polisi Agung Sabar Santosa mengatakan, belum bisa memeriksa Deden. Padahal Deden sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak Minggu 6 Februari lalu.

Deden, kata Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri Komjen Pol Ito Sumardi, tengah dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sebelumnya, polisi telah menahan tujuh tersangka yang berasal dari kelompok penyerang. Ketujuh tersangka itu M, S, UJ, M, E, Y, dan U.

Polisi sempat menahan R dan K. Keduanya dilepas karena polisi tidak menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menahan mereka. Namun, kedua orang itu tetap berstatus sebagai tersangka dalam penyerangan Jemaat Ahmadiyah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar