Rabu, 03 November 2010
Perjalanan Haji: Antara Ibadah dan Bisnis
Berita Kerinci
Jakarta
Orang-orang Arab pada zaman Jahiliah telah mengenal ibadah haji yang diwarisi dari nenek moyang mereka dengan melakukan perubahan di sana-sini.
Tetapi bentuk umum pelaksanaannya masih tetap sama, seperti tawaf, sai, wukuf, dan melontar jumrah. Hanya praktiknya banyak yang tidak sesuai lagi dengan syariat.
Oleh karena itu, Islam datang dan memperbaiki segi-segi yang salah dalam pelaksanaannya sebagaimana yang diatur dalam Alquran dan Hadist.
Latar belakang ibadah haji itu didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan para rasul, terutama Nabi Ibrahim, yang dikenal sebagai nabi agama Tauhid. Tawaf bahkan telah dilaksanakan oleh umat sebelum Nabi Ibrahim.
Ritual sai, yakni berlari antara bukit Shafa dan Marwah juga didasarkan untuk mengenang ritual istri Nabi Ibrahim ketika mencari susu untuk anaknya Nabi Ismail, sedangkan wukuf di Arafah adalah untuk mengenang pertemuan (kembali) Nabi Adam dan Hawa di muka bumi. Di tempat itulah asal mula dari kelahiran seluruh umat manusia.
Ibadah umrah adalah salah satu ibadah dalam Islam yang secara lebih khusus dilaksanakan di luar bulan haji. Ibadah ini dilaksanakan dengan cara melakukan beberapa ritual ibadah di kota suci Mekkah, khususnya di Masjid Al Haram. Perbedaan umrah dengan haji adalah dalam hal waktu pelaksanaannya.
Umrah bisa dilaksanakan sewaktu-waktu, sedangkan haji hanya dilakukan pada 8 Dzulhijjah hingga 12 Dzulhijjah. Umrah merupakan ibadah yang tidak wajib. Banyak ahli hukum Islam menyebutnya sebagai sunah, yakni bila dilaksanakan mendapatkan pahala dan jika tidak dilaksanakan tidak merupakan suatu kesalahan atau dosa.
Idealnya perjalanan haji atau umrah tidak perlu mengalami hambatan, agar kemurnian "komunikasi transendental" antara jamaah dengan Allah SWT bisa terjamin. Oleh karena itu, perjalanan haji atau umrah ke Tanah Suci harus difasilitasi dengan baik.
Bisnis Menjanjikan
Umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia memimpikan beribadah haji dan umrah. Dari Indonesia, jumlahnya tak kurang dari 210 ribu jamaah haji setiap tahun, belum lagi jamaah umrah yang pada tahun ini diperkirakan bisa menembus angka 400 ribu jamaah.
Tidak bisa dipungkiri bahwa bisnis yang bergerak di bidang usaha jasa perjalanan haji dan umrah merupakan bidang yang "basah".
Bisnis ini bukan saja menawarkan keuntungan besar, namun juga sangat gampang untuk kemungkinan terjadinya manipulasi. Kepasrahan jamaah calon haji dan umrah seringkali dimanfaatkan agen-agen perjalanan untuk mengeruk keuntungan finansial.
Sikap pasrah dan "nrimo" ini seringkali didasari atas sikap jamaah yang memandang kendala yang mereka hadapi merupakan "ujian" dan "cobaan" yang harus dijalani dalam melaksanakan ritual keagamaannya, padahal seringkali kejadian ini merupakan kelalaian dari agen perjalanan sebagai penyedia jasa.
Kepasrahan jamaah seringkali dimanfaatkan oleh agen perjalanan haji dan umrah untuk meraup keuntungan dalam bisnis jasa tersebut.
Kasus-kasus seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lainnya.
Pada musim haji beberapa waktu lalu misalnya, sempat mencuat berita tentang 60 calon jamaah haji asal Kazakhstan "terdampar" di Bandara Dubai, Uni Emirat Arab (UAE), karena mereka telah ditipu oleh agen perjalanan yang menyediakan jasa perjalanan haji, demikian menurut Daily News sebagaimana dikutip worldpress.com (21/2/2008).
Keenam puluh calon jamaah haji yang umumnya adalah lansia dan dari kalangan kurang mampu itu ditipu dengan hanya diberikan tiket perjalan one-way dari negara mereka ke Dubai. Padahal mereka dijanjikan akan dijemput oleh "partner-agent" perusahaan tersebut begitu mereka tiba di Jeddah.
Beruntung UAE Red Cressent (Palang Merah UAE) kemudian berhasil mendapatkan bantuan untuk memberangkatkan ke-60 calon jemaah itu ke Tanah Suci, sehingga mereka dapat mengikuti ibadah haji dan pulang ke negaranya beberapa waktu kemudian.
Sebelumnya, Pemerintah UAE melalui The Higher Committee for Haj and Umrah at the General Authority for Islamic Affairs and Auqaf (GAIAA), mencabut izin usaha 12 agen perjalanan karena diketahui melakukan kecurangan atas kontrak yang ditandatangani oleh jamaah haji dan kantor urusan haji.
Selain itu GAIAA menerapkan denda terhadap 37 perusahaan dan memberikan surat peringatan terakhir.
Kedua belas perusahaan yang dicabut izin usahanya itu tidak diperbolehkan lagi melakukan usaha di bidang yang sama dan deposit yang mereka berikan untuk mendapatkan izin usaha tidak dikembalikan. Sanksi keras itu merupakan langkah tegas untuk membuat bisnis penyelenggaraan perjalanan haji sebagai bisnis yang bersih dan halal seperti halnya tujuan haji itu sendiri.
Bagaimana dengan di Indonesia? Perjalanan jamaah haji atau jamaah umrah dari berbagai daerah ke Tanah Suci yang difasilitasi oleh pihak swasta tidak selalu lebih baik dari pelayanan yang dilakukan oleh Kementerian Agama RI.
Beberapa waktu lalu ada kasus batalnya pemberangkatan 150 jamaah calon umrah asal Bandung, yakni pada minggu kedua April 2008. Selain itu, lebih dari seratus jamaah calon umrah asal Jambi pada waktu yang sama terkatung-katung di Bandara Soekarno-Hatta karena pihak agen perjalanan dianggap melakukan kesalahan prosedur dalam menjalankan kewajibannya.
Khusus mengenai pelaksanaan ibadah haji, mengingat tingginya nilai ibadah tersebut umat Islam tidak segan-segan mengorbankan sebagian harta kekayaannya atau meninggalkan pekerjaan dan keluarganya selama waktu tertentu serta siap bersusah payah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima itu.
Maka tidak heran, seiring dengan meningkatnya kemampuan ekonomi, jumlah jamaah haji Indonesia dari waktu ke waktu cenderung mengalami peningkatan. Setiap tahun selalu ada saja jamaah yang sudah mendaftar beberapa waktu sebelumnya tetapi tidak bisa diberangkatkan karena kuota jamaah haji sudah terlampaui.
Perlu Pembenahan
Sebagai konsekuensi dari meningkatnya jumlah jamaah haji, maka komponen-komponen yang diperlukan untuk kepentingan penyelenggaraan ibadah itu juga terus meningkat, seperti transportasi, pemondokan dan katering. Pengadaan komponen-komponen ini memiliki nilai ekonomi yang relatif besar sehingga dapat berubah menjadi lahan bisnis yang menggiurkan.
Banyak pihak ingin mengeruk manfaat dari kegiatan tersebut. Oleh karena itu, tidak heran seringkali terjadi tarik-menarik kepentingan dalam penyelenggaraan perjalanan haji. Pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 2008 masalah pemondokan dan transportasi muncul ke permukaan, sedangkan tahun sebelumnya masalah katering menjadi mengemuka.
Kalau kecenderungan tersebut tidak dikendalikan dengan efektif, maka arah penyelenggaraan ibadah haji bisa bergeser dari kegiatan yang mengutamakan nilai ibadah (dengan membantu memberi pelayanan kepada orang yang memenuhi panggilan Allah) menjadi kegiatan yang berorientasi mencari keuntungan semata.
Sebenarnya penyelenggaraan perjalanan haji akan berjalan baik apabila dikelola oleh lembaga yang kuat dan diusung oleh SDM yang jujur, amanah, bertanggung jawab, kompeten, dan berorientasi pada pemberian pelayanan dan perlindungan kepada jamaah.
Hanya dengan cara itu jamaah haji dapat terhindar dari permainan tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab.
Sorotan masyarakat terhadap penyelenggaraan haji belakangan ini semakin meningkat. Sorotan itu tidak saja terbatas pada penanganan dan penyelenggaraan haji yang dinilai kurang bagus, tetapi juga disertai tuntutan dihapuskannya monopoli penyelenggaraan ibadah haji oleh Pemerintah c.q Kementrian Agama.
Wacana yang berkembang mengenai pengelolaan haji hingga saat ini mencakup isu swastanisasi dengan harapan akan terjadi kompetisi dan efisiensi; atau pembentukan semacam BUMN oleh Kementrian Agama dengan harapan penyelenggaraan haji dapat dilakukan secara professional dan transparan.
Sementara itu Kementerian Agama diwacanakan bertindak sebagai regulator yang berfungsi sebagai pengawas perusahaan penyelenggara perjalanan haji dengan harapan akan terjadi hukum pasar yang berlaku, di mana perusahaan agen perjalanan haji (dan umrah) yang professional akan banyak diminati oleh masyarakat.
Namun bergulirnya wacana pengelolaan perjalanan haji yang ideal merupakan gejala positif untuk mendorong Kementerian Agama yang selama ini memegang kendali utama penyelenggaraan ibadah haji agar lebih mawas diri serta melakukan introspeksi.
Beberapa faktor yang kiranya perlu mendapat perhatian dan pembenahan dari Kementerian Agama adalah bidang organisasi. Pada bidang ini perlu dilakukan restrukturisasi agar memenuhi asas organisasi yang ramping struktur tetapi kaya fungsi.
Di samping persoalan organisasi, persoalan manajemen haji juga harus dibenahi secara terus menerus. Sudah selayaknya penyelenggaraan ibadah haji mengedepankan asas efisiensi dan transparansi, khususnya di bidang keuangan dan kebijakan, apalagi dewasa ini selalu ditekankan "good governance", atau tatakelola yang baik dalam manajemen pemerintahan.
Kementerian Agama perlu terus-menerus melakukan penghitungan kembali biaya yang diperlukan untuk komponen-komponen kegiatan ibadah haji. Di samping itu juga harus meninjau kembali ketentuan atau kebijakan yang sudah tidak relevan dengan situasi dan kondisi di lapangan, seperti jumlah anggota Amirul Haj dan pemberian fasilitas khusus pada tamu dalam jumlah besar.
Perhatian, pembenahan, dan pengawasan yang lebih baik juga harus dilakukan terhadap agen perjalanan yang selama ini meraih keuntungan relatif besar dari para jamaah yang melakukan perjalanan ibadah haji atau umrah.
Semoga pengelolaan perjalanan ibadah haji ke depan akan bertambah baik, sehingga para jamaah yang melaksanakan ibadah tersebut mendapatkan haji mabrur. (***)
Label:
KERINCI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar