BERITA KERINCI
Masyarakat Jambi Tolak Alih Fungsi Hutan
Senin, 28 Februari 2011 | 18:53 WIB
Masyarakat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, menolak rencana Pemerintah Provinsi Jambi mengalihfungsikan hutan. Rencana tersebut diduga sebagai upaya legalisasi aktivitas perambahan liar dan dikhawatirkan bakal meningkatkan konflik horisontal dalam kawasan.
"Potensi konflik sudah sangat tinggi. Kalau alih fungsi dilakukan tanpa terlebih dahulu ada penyelesaian konflik, malah akan menambah persoalan," ujar Dedi Ridwan, Kepala Desa Pandan Sejahtera, Kecamatan Geragai, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, di Gedung DPRD Provinsi Jambi, Senin (28/2/11).
Dedi menceritakan, pada kawasan hutan produksi yang diusulkan pemprov ke Kementrian Kehutanan untuk beralih fungsi menjadi area penggunaan lain seluas 500 hektar, Pemerintah Kabupaten Tanjabtim ternyata pernah mengeluarkan izin pembukaan perkebunan sawit untuk salah satu perusahaan di tahun 2007.
Di kawasan itulah, aktivitas pembukaan lahan untuk tanaman sawit jadi semakin marak. Ratusan masyarakat pendatang dimobilisasi untuk merambah hutan untuk penanaman sawit. Hal itu menimbulkan kecemburuan penduduk setempat. Jika hutan tersebut dialihfungsikan, jadi seperti upaya legalisasi perambahan. "Padahal, kami sebagai penduduk asli tidak merasakan dampaknya, namun hanya akan melihat hutan yang telah rusak di depan mata kami," lanjutnya.
Dedi melanjutkan, pemerintah perlu terlebih dahulu menyelesaikan persoalan konflik di sana dan menetapkan tata ruang untuk kawasan tersebut. Jadi, jangan asal diusulkan beralih fungsi, sebelum jelas rencana penataan ruangnya, tuturnya lagi.
Rivani Noor, Direktur Cappa, lembaga yang mengurusi advokasi masalah kehutanan, mengemukakan, banyak pemanfaatan kawasan hutan di Jambi tidak sesuai dengan peruntukannya. Pihaknya mendapati sejumlah izin tambang batu bara dalam kawasan hutan lindung dan produksi, yaitu 3 izin dalam kawasan lindung di Kabupaten Sarolangun dan Tebo, serta lebih dari 10 izin dalam kawasan hutan produksi. Tidak hanya tambang batu bara, perkebunan sawit juga marak dibangun dalam kawasan hutan, katanya.
Senin kemarin, sekelompok masyarakat yang mengaku warga suku anak dalam di Kabupaten Batanghari mendatangi Kantor Pemprov Jambi untuk menuntut pengelolaan lahan pada kawasan perkebunan sawit yang masuk konsesi PT Asiatic Persada, anak kelompok usaha Wilmar Group. Masyarakat menuntut 1.000 hektar diberikan bagi mereka, dengan alasan telah menggarap lahan tersebut sebelum perusahaan masuk pada hampir 15 tahun lalu .
Di Kabupaten Batanghari, sekitar 50 warga yang hidup di kawasan hutan Harapan Rainforest yang dikelola PT Restorasi Ekosistem (REKI) memanen padi seluas enam hektar dalam kawasan tersebut. Menurut Amran, warga setempat, mereka terpaksa menanami padi dalam kawasan hutan, karena tidak memiliki lahan sendiri. "Selama ini kami hidup dari berladang di sini sejak puluhan tahun. Kalau padi itu tidak kami panen, dari mana kami mau makan," tuturnya.
Kompas mencatat, ada 47 konflik perebutan lahan di Provinsi Jambi, yang hingga kini belum terselesaikan.
FUNGSI HUTAN
Etnosida Kian Mengancam Orang Rimba
Selasa, 28 Desember 2010 | 16:33 WIB
Seorang perempuan rimba menganyam daun rumbai untuk dijadikan tikar di sudut perkebunan rakyat di Desa Rejosari, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, Rabu (2/12/2009). Akibat perluasan areal perkebunan sawit dan daerah transmigrasi, Orang Rimba yang tinggal di kawasan hutan Provinsi Jambi menjadi kian terdesak hid u p ny a .
Semakin luasnya alih fungsi hutan alam menjadi tanaman industri di Jambi telah mengakibatkan orang rimba atau suku anak dalam kehabisan sumber daya. Jika kondisi ini dibiarkan, orang rimba terancam mengalami etnosida dalam lima hingga delapan tahun ke depan.
Manajer Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rudi Syaf mengatakan, sekitar 50 persen orang rimba telah keluar dari kawasan hidup mereka semula di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Mereka kini tinggal di sepanjang Jalan Lintas Tengah Sumatera di Kabupaten Sarolangun, Merangin, dan Bungo.
Kehidupan ekonomi mereka relatif sulit, antara lain menjadi penjual obat-obatan tradisional, buruh kebun sawit, dan karet para pendatang transmigran atau dimobilisasi para pemilik modal untuk berburu satwa liar dalam hutan. Mereka umumnya menempati pondok-pondok darurat dari terpal plastik dan beralas bambu di pinggir perkebunan masyarakat.
Sejumlah orang rimba kerap pula dimobilisasi menjadi pengemis ke rumah-rumah warga di Kota Jambi. Hutan di sekitar Bukit Duabelas semakin habis, sehingga orang rimba pun kehabisan sumber daya.
"Seiring itu pula, pola penghidupan mereka berubah," ujar Rudi.
Rudi menjelaskan, kebijakan pemerintah telah mengakibatkan perubahan pemanfaatan ruang di Jambi. Pihaknya mencatat, telah terjadi alih fungsi 633.809 hektar hutan alam di Jambi menjadi hutan tanaman industri yang dikelola oleh 18 perusahaan.
Selain itu, terdapat 52.000 hektar kawasan hutan yang dicadangkan untuk HTI atas nama PT Rimba Hutani Mas. Sebagian kawasan yang beralih fungsi tersebut merupakan hunian dan sumber mata pencaharian orang rimba.
Transmigran
Hutan di Jambi juga beralih fungsi menjadi areal transmigrasi. Penyelenggaraan transmigrasi oleh pemerintah sejak 1968 itu telah menempatkan 1.600 orang rimba hidup menetap bersama sekitar 600.000 pendatang, yang sebagian besar datang dari wilayah Jawa.
Kebijakan tersebut menimbulkan terjadinya gegar budaya di kalangan orang rimba. Mereka yang semula terbiasa hidup secara tradisional dalam hutan, secara tidak sadar dipaksa menjalani kehidupan modern para pendatang. Bahkan, orang rimba yang berhasil hidup menetap, tidak mau lagi mengakui dirinya sebagai orang rimba.
"Ini secara tidak langsung juga telah menghancurkan akar budaya orang rimba. Jika dibiarkan terus terjadi, lima atau delapan tahun ke depan, orang rimba akan habis," ujar Rudi.
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Nurkholis mengatakan, ada indikasi terjadi pemaksaan kebijakan oleh pemerintah terhadap orang rimba untuk hidup berhadapan dengan dunia luar, melalui program transmigrasi. Untuk itu, pemerintah perlu memperbaiki kebijakannya, agar etnosida tidak sampai terjadi.
"Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan yang diambil berdasarkan kebutuhan dan kesadaran orang rimba," ujarnya.
Berdasarkan populasi yang dilakukan bersama oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi dan KKI Warsi pada 2010, jumlah orang rimba di Jambi mencapai 2.916 jiwa. Jumlah ini meningkat dibanding 12 tahun sebelumnya yang mencapai 2.669 jiwa. Mereka tersebar di Bukit Duabelas, Bukit Tigapuluh, dan sepanjang Jalan Lintas Tengah Sumatera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar