BERITA KERINCI
Oleh : Syamsul Bahri SE
Politik dan uang, saat ini merupakan dua sisi yang saling memperkuat, jika di interpretasikan, bahwa politik bertujuan untuk kekuasaan, yang kemungkinan besar akan mengarah pada jabatan, harta, dan tahta, begitu juga dengan uang, kemungkinan besar bersusaha untuk memperoleh nilai politik menuju kekuasaan, yang identik dengan harta, tahta.
Dengan politik dan uang, akan mendapat kekuasaan, dan harta, serta membentuk dynasty kekuasaan di suatu wilayah, baik itu melalui anak, isteri dan family keluarga dan ini banyak terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, pembuktian ini munculnya tokoh elit-elit politik lebih disebabkan oleh faktor financial, begitu juga sebaliknya, munculnya kekayaan dan kerjaan bisnis karena adanya kekuasaan politik, atau sebaliknya yang menjadi bagian yang sudah menjadi proses alami di sebuah negari yang katanya Demokrasi terbesar, baik di level Pemerintah Pusat, maupun Propinsi dan bahkan Kabupaten/kota, Politik kekuasaan, dan uang, atau sebaliknya uang dan politik kekuasaan yang semakin menjamur.
Sesungguhnya ketokohan tidak dimunculkan oleh nilai politik dan uang atau uang dan politik, melainkan dimunculkan melalui proses suksesi alami yang membutuhkan waktu yang panjang dan telah teruji dalam badai yang besar, namun ketokohan yang muncul saat ini justru ketokohan Instan di kalangan Penguasa, Politikus, pengusaha.
Memang disadari dalam politik, posisi uang teramat penting, begitu juga dalam uang, posisi politik juga sangat penting, sehingga politik dan uang sebuah kerajaan yang sangat sulit untuk dipisahkan, bahkan mungkin akan langgeng, ini sebuah bukti apabila demokrasi hanya melulu pada tujuan kekuasaan dan kekuasaan cenderung bermain diwilayah financial, begitu juga sebaliknya, dan demokrasi yang dianut berorientasi pada pendewaan politik dan pendewaan uang.
Bukan berati sebuah demokrasi harus dengan biaya yang besar (cost dan money politik), karena demokrasi yang bergelimang uang adalah demokrasi yang tidak sehat, sesungguhnya demokrasi yang berorientasi pada kepentingan rakyat, lingkungan (Kosmokrasi) tidak menjadikan politik sebagai transaksi ekonomi.
Karena politik kekuasaan dan financial memiliki kecenderungan tujuan perjuangan keuntungan politik kekuasaan dan keuntungan financial menjadi tujuan politik, berimplikasi pemodal kuat melemahkan yang lemah modal, melalui transaksi suara, transaksi pengaruh, transaksi kekuasaan di tingkat masyarakat, transaksi jabatan untuk duduk dalam sebuah jabatan basah/strategis dilingkup kekuasaan Politik menjadi hal yang lumrah, dalam kerangka politik pembenaran.
Demokrasi politik yang berorientasi pada politik pembenaran terhadap kekuasan dan uang, dengan mengabaikan kebenaran “yang berdiri sendiri” dan akan menghilang dari sebuah ranah komunitas pembenaran dari ranah ketidak benaran.
Ketika pembenaran dari sebuah ketidak benaran “kemenangan” dalam rivalitas politik ditentukan hanya oleh uang, maka kecenderungan semua aturan dan ketentuan sebagai sebuah rambu-rambu dilalui tanpa dosa, dengan melihat peraturan dan ketentuan sebagai sesuatu yang dilemahkan, tentunya melalui mekanisme yang diatur dengan baik dan startegis, sistimatis dan kooperatif, disadari sesungguhnya hampir semua ketentuan itu memiliki kelemahan secara yuridis.
Fakta lapangan selama pelaksanaan demokrasi politik yang berlangsung, terlihat bahwa praktek beli suara, beli kursi, dan beli pengaruh dalam politik, beli jabatan basah dan startegis menjadikan uang bukan lagi sebagai factor pendukung melainkan menjadikan uang sebagai factor utama, jelas antara pelaku politik dan pelaku ekonomi atau sebaliknya, yang diawali dengan transaksi suara, pengaruh, perahu, proyek, kepentingan dll.
Transaksi tersebut akan menjadikan opini yang baik bagi politikus yang ambisius kekuasaan, tentunya akan memberi pengaruh kepada pelaku ekonomi untuk mendapat pengaruh politik dan uang melalui donasi pada sang politikus yang ambisius, dengan melihat pengaruh awal dari opini yang terbentuk, dan sang donator akan mendonasi sang politikus untuk meraih kemenangan sebagai sebuah investasi politik ataupun investasi bisnis, yang nantinya akan bergelimpangan proyek dan akan mendapat pengaruh politik.
Secara kasat mata, apa yang terjadi dalam dinamika demokrasi saat ini, adalah sebuah kompromis kepentingan politik dan kepentingan bisnis/financial, yang mengenderai demokrasi Pemilu di Indonesia, semakin hari semakin kuat dan menguasai sebuah demokrasi dalam situasi masyarakat pemilihnya tidak memiliki daya tawar yang kuat. Hanya dengan bergerak melalui penyebaran uang ke berbagai kelompok masyarakat yang rentan, kekuatan politik-bisnis dapat menguasai negara, dan mengendalikan kebijakannya.
Sebagaimana pemahaman kita bahwa demokrasi bukan tujuan, melainkan sebagai alat untuk mencapai kesejaheteraan masyarakat “yang belum tercapai”, merupakan sebuah indicator bahwa suara pemilih dan aspirasi pemilih cukup diganti dengan ribuan rupiah yang mungkin akan menjadikan actor/politikus/pengusaha menjadi penguasa yang berkuasa secara politik dan berkuasa secara fiancial, sedangkan pemilih hanya berpikir “makan apa”, sedangklan para politikus dan donator, berfikir “makan siapa, makan dimana, makan dengan siapa”. Jelaslah bahwa indicator kemiskinan dan pendidikan yang menjadikan dinamika demokrasi politik yang belum berjalan sesuai dengan tujuan, dan kelemahan ini justru dimanfaatkan oleh para elit politik dan elit ekonomi.
Kondisi berlanjut setelah sang penguasa menguasai sebuah kekuatan politik, menjadikan birokratis/kekuasaan eksekutif menjadi bagian dari kekuasaan financial, sehingga muncul Pemimpin-pemimpin Unit/Instansi/Lembaga yang belum bahkan tidak memiliki kelayakan memimpin baik secara tehnis maupun secara administrasi, implikasi pembangunan di daerah tidak berjalan sesuai dengan tatanan yang telah ditentukan, bahkan cenderung ditengah perjalanan ganti dan tukar pasang menjadi bagian dalam mendulang kekuasaan politik dan financial, bahkan merambah pada penerimaan CPNS berbau KKNisme, ironis ……..sungguh ironis…….
Akibat pembiasan tersebut diatas, melahirkan sebuah kehidupan pemiskinan yang terstruktur dan memberi kesan, “orang miskin dilarang pintar karena biaya Pendidikan mahal, orang miskin dilarang sakit karena biaya berobat mahal, orang miskin dilarang sejahtera karena penjaminan lapangan pekerjaan yang tidak jelas, orang miskin dilarang jadi PNS karena untuk jadi PNS membutuhkan KKNisme, semuanya merupakan sebuah pengingkaran dari Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu UUD 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar