Laman

Sabtu, 16 Oktober 2010

KOTA JAMBI SEMAKIN TIDAK BERVISI MACET,SAMPAH DAN ANGSO DUO YANG SEMRAWUT

Berita Kerinci

BECEK: Kondisi pasar Angso Duo semakin becek dan tak beraturan. Pasar Angso Duo Jambi Tahun 1928 (kanan).

- Benang Kusut Macet Tak Kunjung Terurai

- 1 Meter untuk 5 Orang

IBUKOTA Provinsi seharusnya mampu menampilkan kesan elegan dan nyaman. Namun Kota Jambi tak memberikan itu. Kalau kita melintas di jalanan Kota Jambi, dipastikan kita akan menemui banyak hal yang membuat kita justru harus mengurut dada.

SEBAGAI salah satu pusat budaya di Sumatera sudah seharusnya Tanah Pilih Pesako Betuah ini tak meninggalkan situs-situs bersejarahnya. Minimal tidak menutupinya dengan bangunan baru. Selain situs sejarah, ciri khas dan kelebihan Kota Jambi seharusnya ditonjolkan.

Sungai Batanghari sebagai urat nadi perekonomian warga Jambi sejak sebelum kemerdekaan kini tak terlihat lagi. padahal dari sungai itulah Jambi bisa seperti sekarang. Sekarang, yang bisa kita lihat adalah hampir tidak ada pinggiran sungai di tepi jalan utama yang terlihat dengan leluasa. Hanya di depan Rumah Dinas Gubernur Jambi, pandangan ke sungai terbesar di Sumatera ini bisa lepas.

Pengelolaan dan perencanaan sungai sebagai aset seharusnya bisa dilakukan dengan baik. Pinggiran sungai adalah aset berharga yang tidak ditutup. Banyak contoh menunjukkan bagaimana tepi sungai bisa menjadi objek menarik, baik secara ekonomi maupun pariwisata.

Pasar Angso duo yang dulu begitu bersih dan nyaman kini tak bisa lagi kita nikmati. Sebelum pembangunan "merajalela" pasar tradisional terbesar di Jambi itu juga menjadi pusat perekonomian warga seluruh Provinsi Jambi. warga dari Tungkal, Batanghari, Sabak dan daerah lain menjadikan pelabuhan Angso Duo pusat persinggahannya.

Di seberang sungai, Olak Kemang menjadi pelabuhan penghubung. Warga dari Muarojambi dan daerah lain di seberang sungai menjadikan pelabuhan Olak Kemang tempat transit sebelum berekonomi di Angso Duo. Pelabuhan Olak Kemang dulu adalah tempat paling ramai di Jambi. Sebab pelabuhan itu menjadi transit para pedagang dan pembeli dari dan ke Kota Jambi.

Suasana Pasar Angso Duo dulu yang sangat asri dan langsung terhubung ke sungai menjadikan kehidupan banyak berlangsung di sungai. Sampah-sampah dari pasar pun lebih banyak organik. Alhasil, justru itu (sampah) menjadi makanan bergizi buat penghuni sungai.

Sekarang? Bisa kita lihat sendiri, bagaimana kondisi pasar itu. Setiap pagi hanya kemacetan yang menjadi pemandangan rutin. Belum lagi kalau hujan turun. Becek, bau hingga banjir menjadi santapan warga setiap hari.

Melewati Pasar Angso Duo, jajaran rumah toko (ruko) yang berhimpitan sekarang menambah ruwet kota. Padahal dulu, jalan lebar dan jajaan toko yang rapi membuat kita leluasa berbelanja dan jalan-jalan. Pasar rombeng (lihat gambar) sangat nyaman. Kemacetan pun nyaris tak ada. Sebab selain jumlah penduduk yang masih sedikit, penataan kota juga lebih mudah.

Sudah hukum alam memang manusia bertambah. demikian juga sarana pendukung lainnya. Namun sangat disayangkan jika kemudian itu tidak diikuti dengan perencanaan matang sebuah kota. Hasilnya bisa dilihat sekarang. Pasar hanya ramai ketika pagi hingga siang. Begitu matahari mulai bersembunyi di balik ufuk barat, aktivitas pun nyaris mati.

Malam hari, aktivitas warga berpindah. Murni, Sipin menjadi tujuan warga. Tak heran jika bioskop Murni pun menjadi salah satu tujuan. Bioskop berasitektur lama itu menjadi tempat hiburan warga. Di dua tempat itulah kemudian yang menjadi pusat keramaian warga di malam hari.

Salah satu sejarawan Jambi, Junaidi T Noor mengatakan bahwa salah satu tempat paling bersejarah di Kota Jambi ini adalah bioskop Murni. Di bioskop yang sekarang tidak terlihat itulah lahir pejuang-pejuang yang akhirnya melahirkan daerah otonomi Jambi.

"Di gedung bioskop itu digelar kongres rakyat Jambi,"katanya. ia mengungkapkan bahwa kongres berlangsung 14-18 Juni 1955.

Kongres itu sendiri akhirnya memunculkan wadah perjuangan rakyat Jambi untuk otonomi. "Nama wadah itu adalah Badan kongres Rakyat Djambi (BKRD). Tugasnya adalah mengupayakan dan memperjuangkan Jambi menjadi daerah otonomi tingkat I provinsi,"bebernya.

Kini, bioskop Murni telah beralih fungsi. Sebuah showroom telah mengganti fungsi gedung bersejarah ini. Semangat pemodal dan letaknya yang strategis membuat Bioskop Murni menjadi lahan bisnis.

Banyak yang belum sadar bahwa di tempat itulah gerakan perjuangan untuk menjadikan Jambi sebagai daerah otonom tingkat I provinsi dilakukan. Tanpa gedung Bioskop Murni itu, memang bisa memilih gedung lain, tapi pilihan ternyata jatuh di Murni.

Kini itu semua bergeser. Malam hari beberapa titik telah menjadi pusat keramaian. Sipin menjadi daerah paling ramai di kota ini. Seiring waktu, tempat itu terus meluas. Kawasan Mayang, Kotabaru turut menambah panjang daftar tempat warga berbelanja malam hari.

Yang paling memungkinkan memang pengembangan kota adalah menuju terminal Simpang Rimbo. Selain masih sepi, ke arah sanalah pengembangan kota yang paling memungkinkan. Sedangkan di Jambi Selatan, dominasi pergudangan bakal sulit digeser.

Apalagi rencana perluasan Bandara Sulthan Thaha yang menurut kabar bakal menutup jalan turut memperpendek pengembangan kota ke arah sana. Kenyamanan warga di kawasan Sipin hingga Kenali Besar dalam waktu dekat akan terusik pembangunan.

Sekarang saja sudah bisa kita lihat bagaimana susahnya melintasi daerah itu setelah maghrib. Pemkot pun seakan bergeming dengan keadaan ini. Tidak ada upaya pengalihan arus lalu lintas atau pembuatan jalan alternatif agar warga nyaman menikmati kota.

Pusat ekonomi di Angso Duo (Pasar), pusat pemerintahan di Telanaipura, dan tetap membiarkan bantaran sungai Batanghari tak tertutup bangunan, pasti membuat kota ini lebih nyaman. Dulu itu semua masih ada. Pinggiran sungai yang lapang bisa menjadi lahan parkir tak terbatas buat pengunjung pasar. Belum lagi pemandangannya yang indah ada di pinggiran sungai terpanjang di Sumatera itu.

Lebih masuk ke dalam kota, keteraturan penataan titik-titik keramaian membuat kenyamanan makin tinggi. Jalan Gatot Subroto pun lebih enak. Bangunan Hok Tong yang kini tak terawat juga bisa menjadi ikon kota. Namun kini keagungan sejarah itu telah tertutup. Bangunan perkantoran menyelimuti simbol sejarah kota itu. Belum lagi aktivitas warga yang menutup mata untuk sekadar melirik bangunan tua itu.

Sungai Batanghari sebagai kebanggaan Jambi kini tak "terlihat" lagi. Begitu juga dengan Pasar angso Duo yang sama sekali tidak lagi memperlihatkan pernah menjadi pusat perkonomian Tanah Pilih Pesako Betuah ini. Bangunan-bangunan tua seperti Hok Tong, dan bangunan yang kini menjadi kantor Bank Mandiri di Pasar juga tak nampak lagi.

Terminal Rawasari yang dulu menjadi salah satu tempat tentara Indonesia mempertahankan kota Jambi kini tak terawat dan terbengkalai. Menara air di Jelutung juga kini tak tahu lagi bakal difungsikan sebagai apa. padahal kalau dikelola dengan baik, tentu akan banyak memberi maslahat kepada warga.

Demikian juga dengan Lapangan Benteng di sebelah Puskesmas Putri Ayu. Tempat pengibaran bendera Merah Putih pada perang kemerdekaan itu kini sekadar jadi monumen.

Masih banyak tempat yang menjadi ikon sejarah Kota Jambi sekaligus penanda betapa rapi penataan kota waktu itu. Kini itu semua tinggal kenangan. Banyak sudah generasi pemimpin daerah ini berganti, namun tak juga ada perbaikan signifikan. Apalagi sekarang pengembangan kota cenderung stagnan alias berjalan di tempat.

Tidak bisa kita temukan inovasi-inovasi cerdas yang bisa membuat kota ini lebih nyaman. Public space atau tempat warga melakukan aktivitas sama sekali tidak ada. Semua tersebar tak beraturan. Wacana menjadikan kota ini sebagai kota ramah anak seperti yang pernah dirintis Walikota Arifien Manap tinggal wacana. Jadi, selamat menikmati kota tanpa konsep ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar