BERITA KERINCI
Ahmadiyah Menolak Stigma Eksklusif
Ahmadiyah menolak usulan menjadi agama tersendiri, di luar Islam.
Brimob berjaga di Masjid Ahmadiyah, Al Hidayah, di Jalan Balikpapan, Jakarta
Malam ini Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan rapat dengar pendapat dengan Ahmadiyah. Selain soal tragedi Cikeusik, dewan juga bicara dari hati ke hati dengan komunitas ini.
Kepada anggota dewan, Amir Jamaah Ahmadiyah, Abdul Basith menerangkan, di Indonesia Ahmadiyah berstatus sebagai badan hukum pada tahun 1953 yang dikeluarkan Kementerian Kehakiman.
"Prinsip organisasi berdasar Pancasila dan UUD 1945, kami tidak berpolitik, taat dan patuh pada pemerintah Indonesia yang sah, patuh pada institusi negara," kata dia dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR RI di gedung parlemen, Rabu 16 Februari 2011 malam.
Kata Abdul Basith, tokoh Ahmadiyah ikut andil dalam bidang sosial kemasyarakatan, termasuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. "Seperti Syaikh Muhammad Muhidin menjadi sekretaris PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)," katanya. Basith juga menyampaikan, WR Supratman, pencipta 'Indonesia Raya' seorang Ahmadiyah.
Abdul Basith juga membantah stigma 'eksklusif' yang disematkan ke Ahmadiyah. "Kesan ekslusif tidak ada sama sekali, kami bergaul dengan masyarakat, menjadi abdi negara," kata dia. "Jamaah Ahmadiyah secara aktif turut menyukseskan program kerja pemerintah. Kalau tidak dijelaskan stigma itu akan menempel."
Sementara, dalam hal keyakinan, Abdul Basith mengatakan, warga Ahmadiyah menganut rukun iman dan rukun Islam, seperti halnya muslim lainnya. "Alquran juga menjadi landasan kami."
Untuk itulah, Abdul menolak jika Ahmadiyah dipaksakan menjadi agama tersendiri, di luar Islam. "Bagaimana kami membuat agama baru. Ini tidak bisa dipaksakan. Kami beramal, ber-Islam."
Sebelumnya, Ketua Komisi VIII Abdul Kadir Karding mengatakan, undangan pada Ahmadiyah punya arti penting. Untuk mencari solusi hubungan antara Ahmadiyah dan masyarakat yang selama ini menantang keberadaanya.
"Kita ingin tahu persepsi mereka seperti apa, dan menyampaikan persepsi masyarakat terhadap Ahmadiyah seperti apa," kata Karding kepada VIVAnews, Selasa 15 Februari 2011.
Karding menuturkan, sebenarnya hubungan antara Ahmadiyah dan umat Islam sudah ada rambu-rambunya dalam SKB 3 Menteri. Tetapi, implementasi isi kesepakatan itu seringkali kurang tepat. "Kira-kira yang terbaik untuk solusi ke depan apa. Saya kira secara garis besar, intinya ingin bangun dialog, bicara hati ke hati agar saling memahami apa yang jadi solusi," ujarnya.
Pesantren Diserang, IJABI ke Mabes Polri
Mereka menyerahkan sejumlah dokumen terkait penyerangan Pesantren di Pasuruan.
Ilustrasi kekerasan (Nadya)
Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) mendatangi Markas Besar Kepolisian untuk menyerahkan dokumen terkait penyerangan Pesantren Al Ma'hadul Islam di Pasuruan. Penyerangan ke pesantren itu sudah ketujuh kalinya.
Dokumen yang diserahkan langsung Ketua IJABI Hasan Daliel itu berjumlah 24 buah. Termasuk salah satunya dokumen rekaman CCTV penyerangan kemarin yang diduga terbesar.
"Kemarin, sebagaimana telah dilansir beberapa media, ada penyerangan dari sekelompok masyarakat," kata Hasan di Mabes Polri, Jakarta, Rabu 16 Februari 2011.
Menurut dia, penyerang adalah masyarakat yang tidak pandai hidup dalam ke-Bhinnekaan, masyarakat yang tidak pandai menghargai pluralisme, masyarakat dengan Islam tafsir tunggal. "Padahal, kita tahu, kita harus menghargai ke-Bhinnekaan dan pluralisme, satu Islam tapi multitafsir. Jadi karena itu, kami mengutuk serangan atau kekerasan terhadap Yayasan Pesantren Islam di Bangil kemarin," katanya.
Hasan menyatakan, penyerangan semacam ini sudah kali ketujuh. "Kami ingin tanyakan, kalau kekerasan sudah terjadi 7 kali dan provokatornya tidak ditangkap, apa dia kebal hukum?" kata Hasan.
Dan Hasan pun menyerahkan satu nama pemimpin kelompok yang disebutnya memprovokasi kekerasan itu. "Dia provokator nomor satu. Saya tidak tahu lagi yang lain," katanya.
IJABI juga meminta Mabes Polri mensupervisi Polda Jawa Timur. Menurut IJABI, jangan sampai kejadian ini dianggap tawuran biasa.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto mengatakan Gubernur Jawa Timur sudah melaporkan soal penyerangan salah satu Pondok Pesantren di Pasuruan. Menurut laporan Gubernur, peristiwa itu biasa terjadi di tempat tersebut.
"Oleh kelompok itu juga. Seperti misalnya ada perkelahian antar-kampung," kata Djoko Suyanto di Istana Wakil Presiden, Rabu 16 Februari 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar